14. Hari bersamanya

722 43 3
                                    

Pukul enam pagi. Arland, pria itu berdiri di depan pintu rumah Keisari di pagi hari ini. Senyum kecul terukir di bibirnya yang ranum. Telinganya asik mendengar suara-suara yang keluar dari dalam rumah. Arland membuang rasa malunya untuk yang kesekian kalinya. Pria itu memutuskan mengetuk pintu papan itu dengan ucapan salam setelahnya.

Terdengar suara tergopoh-gopoh dari dalam. Arland yakin itu Keisari. Ketika pintu itu terbuka. Keisari yang awalnya tersenyum kian memudar.

"Mau apa?"

"Mana dia?"

Dari dalam, terdengar tumit bertubrukan dengan lantai tehel yang licin. Musa berlari. "Ayah? Apa itu kau?"

Kemudian, Keisari hanya bisa melihat Arland memeluk Musa dengan senang. Berulang kali ia layangkan kecupannya untuk sang putra. "Hahaha geli!"

"Musa, masuk."

Arland mendongak. Pria itu lantas berdiri tegak di hadapan Keisari. Sementara wanita itu mundur memberi jarak. Ia menatap Arland begitu tajam.

"Aku ingin membawanya pergi."

Napas Keisari terasa tercekat. Kerongkongannya tiba-tiba kering. Keisari menarik Musa ke belakang tubuhnya dengan cepat. "Aku tidak mengizinkanmu membawa putraku, gus Arland!"

"Dia juga putraku."

Kedua mata tajam itu saling beradu.

"Dia bukan putramu! Kenapa kau begitu percaya diri mengatakan Musa adalah putramu!"

Musa memandang keduanya dengan sorot mata memohon. "Ibu, Ayah. Tidak bisakah kalian berhenti bertengkar," ujarnya. Mata pria kecil itu kembali berkaca-kaca. Padahal, ia baru saja selesai mandi. Ia baru saja akan memulai harinya.

"Sudah Ibu bilang, dia bukan Ayahmu, nak."

"Ibu bohong, dia Ayah!"

"Musa!"

Pria kecil, dengan cepat berlari masuk kedalam rumah dengan air matanya yang berderai. Isak tangisnya terdengar begitu memilukan.

"Silahkan pulang, gus."

Mendengar nada tegas Keisari, Arland menatapnya tajam."Apa yang kau lakukan."

"Dia bukan putramu!"

"Sampai kapan kau akan menyakitinya? Apa kau lupa siapa yang membuatku pergi? Keisari? Apa kau lupa, kau yang membuatku meninggalkan kalian!" Arland menekan setiap kalimatnya. Matanya menatap tajam wanita di hadapannya.

Meluruh air mata Keisari mendengar bentakan Arland. Wanita menunduk dengan badan bergetar, ia mundur memberi jarak. "Pergilah Dyo, aku mohon."

"Apa kau tidak ingin melihatnya punya seorang Ayah?" Guratan wajah Arland melemah. Luluh lantah hatinya melihat wanita itu bergetar ketakutan. Dia tetaplah Keisari.

"Kau hanya akan membuat dia berharap, Dyo."

"Lalu apa salahnya?Aku memang Ayahnya."

Keisari tak bergeming."Kau memang Ayahnya, tapi apa bisa kau bawa putramu untuk bertemu keluargamu, Dyo? Apa kau bisa? Apa kau bisa mengatakan bahwa Musa adalah putramu di depan Kiai Dyo? Tidak, kau tidak bisa Dyo. Jangan membuatnya sakit, hidupnya sudah sangat menderita karenamu, Dyo."

Arland bergeming. Tertohok oleh pertanyaan Keisari. Ingatannya melayang pada kejadian selepas sholat subuh tadi ketika ia hendak bertanya tentang kematian Keisari pada Kiai Husen. Baru saja ia menyebut namanya, Kiai Husen sudah mengusirnya. Bahkan, saat ini pun ia belum bisa menyelesaikan masalah perjodohannya.

"Pergilah, Dyo. Aku mohon."

Mata Arland memanas. Benar apa yang wanita itu katakan. Ia lantas berbalik, kakinya ia seret paksa dari hadapan wanita itu.

Rahasia Gus (TAMAT 🕊️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang