"Gue udah tahu semuanya, Zar."
Alara mengambil beberapa pakaian yang semula digantung rapi di dalam lemari besar. Kakinya melangkah ke arah tempat tidur, kemudian meletakkan setumpuk pakaian itu di sana. Detik berikutnya, ia membuka koper besar berwarna biru muda, sementara Zargan nampak memilih diam dengan pandangan tertuju pada aktivitas yang sedang Alara lakukan.
Perempuan itu berhenti sejenak, menoleh pada Zargan yang masih saja setia membungkam. Namun, Alara tahu pasti bahwa jauh di dalam kepalanya, ada banyak hal yang sedang laki-laki itu pikirkan. Alara tersenyum tipis, lantas duduk pada ranjang empuknya.
"Semua mahar yang disebutkan waktu kita menikah, diambil alih lagi sama Papa lo, kan?"
Zargan nampak terkejut, terbukti dari perubahan raut wajahnya. Namun, tak berselang lama, senyuman menghiasi wajah Zargan dan Alara bisa menebak bahwa kalimat selanjutnya yang akan Zargan ucapkan adalah sebuah kebohongan, seolah tidak ada masalah apa pun yang ia alami.
"Enggak, masa mahar diambil lagi." Zargan tertawa pelan sebagai cara untuk membuat Alara yakin dengan perkataannya.
"Gue nggak sengaja denger percakapan lo sama Papa lo waktu itu, semua maharnya diambil alih dan lo nggak dapet sedikit pun dari harta kekayaan keluarga lo sendiri. Gue tahu apa yang lo pikirin dari tadi, Zar. Lo pasti bingung, kan, mau ngajak gue ke mana?"
"Papa juga mendesak terus biar kita bisa cepet-cepet tinggal berdua aja, biar nggak ada gangguan dari mereka."
"Maaf." Zargan menunduk dan Alara dapat menangkap raut wajah penuh rasa bersalah yang Zargan tunjukkan.
"Kenapa harus minta maaf?"
"Selain nggak bisa mendapatkan kebahagiaan setelah nikah sama gue, hidup lo juga nggak terjamin. Gue nggak bisa ngasih apa-apa buat lo karena sekarang gue bener-bener nggak punya apa pun. Gue nggak bisa jadi suami yang baik buat lo, Ra, padahal seorang suami udah seharusnya bisa menjamin hidup istrinya walaupun status gue masih seorang pelajar."
"Gue suka, nanti kita berjuang sama-sama. Gue rasa seru juga kalo membangun rumah tangga nggak cuma bermodalkan harta dari orang tua. Kalo buat masalah kita tinggal di mana setelah memutuskan nggak ikut sama orang tua gue lagi, gampang. Gue punya apartemen pemberian Papa sewaktu gue ulang tahun yang ke-17 kemarin. Apartemen itu udah jadi milik gue seutuhnya, Papa nggak pernah campur tangan soal apa yang udah jadi hak milik gue. Jadi, nggak akan masalah kalo kita tinggal di sana, tapi kalo seandainya Papa tahu soal ini juga nggak masalah, sih. Gue tinggal ngomong apa adanya dan gue yakin Papa juga bakalan ngerti."
"Gue numpang hidup sama lo, gitu, ya?"
"Ih, enggak! Kita sekarang, kan, udah jadi keluarga. Gue cuma nggak mau setiap ada beban lo sendiri yang nanggung. Nggak apa-apa, ya?"
"Ya, udah, tapi urusan kebutuhan sehari-hari jangan minta sama Papa. Gue nggak mau selalu merepotkan Papa, biar nanti itu jadi urusan gue."
Alara mengangguk pelan, senyuman terlihat menghiasi wajahnya lagi. Lantas, perempuan itu kembali fokus merapikan semua perlengkapan yang akan ia bawa. Usai berpamitan, mobil yang dikendarai oleh Zargan melaju dengan kecepatan normal. Di dalam mobil hanya keheningan yang tercipta, nampaknya Zargan juga tidak ada tanda-tanda akan mengeluarkan suaranya. Alara menoleh beberapa kali, menatap Zargan yang terlihat sekali fokus ke jalanan di hadapannya. Alara tidak suka jika Zargan menjadi diam meskipun ia juga sering kali merasa kesal jika Zargan terlalu banyak bicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zargan ; ANNOYING HUSBAND ✔
Teen Fiction"Pengkhianat harus mati!" Karena kejadian pada malam hari itu, tepatnya saat Alara tak sadarkan diri. Berbagai masalah mulai menghampiri hingga ia harus rela menikah dengan kembaran dari kekasihnya sendiri. Ia bertekad untuk membalaskan dendam pada...