Bab 40 : Kontrak

145 16 0
                                    

Bandara sepertinya akan selalu menjadi teman baik pertemuan dan perpisahan. Aku kali ini setuju dengan kalimat itu. Selain itu dibandingkan di rumah pernikahan, lebih banyak ciuman yang tulus di bandara. Semua kalimat itu terasa benar sekarang.

Saat di rumah aku malu untuk memeluknya mesra. Apalagi ada ajudan yang siap berjaga di rumah semakin membuatku menjaga jarak. Namun saat akan berpisah, tanpa malu dan peduli dengan sekitar malah mencium Dirga. Tentu saja di tempat tersembunyi mengingat saat ini aku bukan perempuan bebas.

Tatapan mata Dirga yang begitu lekat sembari mengusap bibirnya membuatku memalingkan wajah menahan malu. Bagaimana cara mengawetkan rasa agar saat pulang aku tidak seperti kehilangan nafsu padanya. Setiap kali di rumah aku seolah tidak punya nafsu.

Sedangkan setelah mau berpisah seolah semuanya harus ku ungkapkan sampai tidak peduli dengan norma masyarakat. Sangat munafik sekali kalau dipikir. Beberapa saat lalu ada sepasang kekasih meminta izin menikah yang ku katakan menjaga norma.

Tapi saat ini yang ada hanya cerita klasik saja. Toh, aku juga sudah menikah dengan Dirga.

🎶Awak dewe tahu nduwe bayangan besok, aku moco koran sarungan, kowe blonjo dasteran🎶

Senyum ku terbit begitu mendengar suara beberapa anak muda yang asyik bernyanyi. Mataku menatap manik mata Dirga yang tergelak seolah mengerti yang ku pikirkan mendengar lagu itu.

"Tinggal membuatmu memakai daster pergi belanja,"ucap Dirga membuat pipi ku merona.

"Sekalipun aku hamil, aku tidak akan memakai daster, ya,"ucapku.

"Nah, terus? Dengan perut sebesar itu, kamu mau pakai apa?"tanya Dirga.

"Lihat saja nanti,"ucapku menggandeng tangannya mesra enggan berlalu masuk.

Rindu yang menjadi candu ini mengubah keadaan pernikahan yang canggung seminggu lalu menjadi hangat. Aku berharap kehidupan pernikahan ku akan tetap hangat. Meskipun ku tahu dengan pasti, tidak ada kehidupan yang selalu mulus.

Jika bukan ekonomi yang diserang maka kepercayaan yang akan di uji. Begitulah nyatanya yang sedang kami hadapi. Setelah berdebat terkait permasalahan listrik di rumah, Dirga akhirnya mengalah. Setelah mengancamnya akan membayar sewa selama tinggal, dia memilih membiarkan ku mengurus permasalahan listrik.

Mana mungkin aku tinggal di rumahnya tetapi hanya menumpang saja. Sementara urusan pembayaran air PDAM menjadi bagiannya. Belanja bulanan sekarang menjadi urusan ku sepenuhnya. Tapi akan sedikit perdebatan dalam proses transaksi. Sedangkan tentang Rania, anak itu seolah menjadi musuh Ayahnya.

Dia lebih suka menghubungi ku dan membicarakan hal tidak penting berjam-jam dibandingkan mendengar ocehan Ayahnya. Dirga tidak mengerti dengan baik tentang perempuan. Terutama saat mereka baru tumbuh dewasa.

"Rania bilang minggu ini libur. Aku memintanya pulang ke rumah dinas ku saja,"ucapku.

"Anak itu benar-benar menyebalkan. Sebelum ada Bundanya, Ayahnya sudah berdiri tegas disini,"oceh Dirga.

"Mas, jangan memahami Rania seperti itu. Pahami dia sama seperti Mas memahami ku. Dia sekarang sudah remaja dan wajar lebih dominan ingin dekat dengan sesama perempuan,"ucapku.

"Aku lebih suka memahami Bundanya Rania,"ucap Dirga tanpa malu mencium pipi ku.

Ehem

Mendengar deheman itu membuatku menunduk malu. Kami bahkan lupa ada Aditya yang ditinggal kerja Azhara. Dia sedang tersiksa rindu dan kita berdua malah menjalin kasih sayang seperti ini. Aku sekarang malah menjadi atasan yang cukup laknat saudara.

Renjana : Arutala Dirgantara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang