Bab 64 : Berbenah

35 6 0
                                    

Pov Dirga

Kehilangan anak bukanlah sesuatu duka biasa.

Sepertinya dengan kalimat itu bisa menggambarkan bagaimana perasaan ku saat ini. Beberapa saat setelah mendarat di Halim Perdanakusuma dengan segala rangkaian penyambutan dan perayaan, Azhara mendatangi rumah ku. Tidak cukup disitu, perempuan itu pun didampingi sang suami menyatakan kabar duka. Rama dan Bunda pun tidak luput menceritakan pada ku tentang kabar itu.

Semua orang seolah berusaha memberitahu ku untuk tidak mengatakan sesuatu yang menyakitkan pada Gita. Padahal tanpa semua kalimat itu pun aku tahu, dia lah yang paling terluka. Lagipula aku hanya sedih bukannya kecewa. Aku tidak kecewa padanya atas kejadian ini. Justru aku kecewa dengan diriku sendiri. Entah bagaimana dia memandang ku hingga enggan menceritakan berita duka ini.

Apakah dia segan atau hanya tidak ingin mengganggu?

Pertanyaan itu seolah berputar mencari jawaban. Kita berdua adalah sepasang suami istri. Tetapi mengapa saling canggung untuk bercerita seolah tidak ingin saling membebani? Rama mengatakan padaku untuk membawanya ke Jakarta selama beberapa waktu melipur lara. Rasanya itu tidak akan terjadi, apalagi setelah melihatnya begitu lemas.

Wajahnya pucat dengan kedua mata sembab. Bahkan saat bertemu perempuan itu sampai tertidur setelah usai meluapkan tangis nya. Sekalipun terkesan cuek, aku pun melihat dirinya telah menantikan kehadiran bayi itu. Beberapa baju bayi yang disimpan di lemarinya sudah cukup menggambarkan harapan itu telah lahir dalam benaknya.

"Maafkan Ibu, Mas".

Sontak mataku kaget bukan kepalang melihat Ibu mengatupkan tangannya dengan air mata merembes. Bagiku ini bukanlah salah siapapun. Ini adalah bencana dan telah digariskan yang Maha Kuasa. Perempuan paruh baya ini pasti telah menyimpan rasa bersalah dalam benaknya. Anak perempuan pertama yang akhirnya menginjakkan kaki menuju mimbar pernikahan mengalami duka karena sebuah kecelakaan yang tidak disengaja olehnya.

"Sudah, Bu. Ini bencana bukan kesalahan siapa-siapa,"ucapku membawanya ke sofa ruang keluarga.

"Seharusnya sebentar lagi dia melahirkan, malah keguguran,"ucapnya tampak putus asa.

"Berarti anaknya disana menjadi penolong untuk orang tua. Kalau Allah ridho, kami pasti diberikan kesempatan lagi. Saya malah berterima kasih Ibu sudah menjaga Gita selama tugas,"ucapku tersenyum lebar.

Duka ini menerjang fisik dan mental Gita. Perempuan yang jarang menitikkan air mata sampai tertidur karena lelah menangis. Aku pun belum pernah melihat Gita dengan wajah begitu pucat. Belum lagi gulungan rambut di tempat sampah sudah menjadi bukti perempuan itu sedang stres. Sebagai seorang Ayah aku pun merasakan lara itu. Tetapi tugas ku pun sebagai seorang suami dan kepala keluarga.

"Kamu tidak marah pada Gita, kan?"tanya Ibu membuatku menggeleng pelan.

"Mungkin ini ujian pertama dalam pernikahan kami. Mana mungkin dalam hidup tidak ada ujian sama sekali. Sekarang saatnya memperbaiki kerusakan bahtera sebelum berlayar kembali,"ucapku memberikan secangkir teh untuknya.

Mungkin aku bisa menganggap ini firasat. Beberapa waktu lalu aku sempat heran melihat tidak satupun pesan ku terima dari Gita. Biasanya dia akan mengirimkan pesan dan ku terima saat tengah berada di Jayapura. Pesawat Hercules yang akan membawa kami pulang pun terus menerus mengalami kendala. Seolah berusaha mencegah pulang tepat waktu.

"Semua pasti akan berlalu,"ucapku dalam hati menghela nafas pelan.

-&-

Pov Gita

Suara langkah berirama membuatku menoleh melihat Dirga baru saja keluar dari kamar mandi. Wajahnya terlihat begitu segar dengan kumis tipis yang sudah dicukur. Rambutnya pun sudah kembali rapi seperti sebelumnya. Pria itu segera bergabung di atas sofa seraya bersandar pada bahu.

Renjana : Arutala Dirgantara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang