Bunyi monitor berpadu dengan dinginnya ruangan membuatku membuka mata menatap sekitar. Anisa menatapku penuh dengan kata-kata yang ingin segera dikeluarkan dari bibirnya.
"Kamu kira aku sekarat? Untuk apa kamu memasang alat medis sebanyak ini? Aku mau pulang saja,"ucapku membuatnya mengajukan 5 jarinya.
"Kak. Sekarang aku dokternya. Lagian kenapa kakak nggak makan? Apa gaji pokok dan tunjangan 30 jutamu tidak bisa menyisakan waktu untuk makan?"omel Anisa menyebalkan.
"Aku hanya GERD saja. Sudah jangan berlebihan,"ucapku sadar kondisi tubuh.
Aku sadar punya penyakit itu. Hanya saja kali ini begitu ceroboh sampai lupa dan berakhir di rumah sakit. Terlebih dokternya saudara ku sendiri. Aku sudah membayangkan cerewetnya perempuan di depan mataku.
"Hanya? Kakak pingsan 10 jam dan mengatakan hanya?"tanya Anisa gemas.
"Bertindak lah sebagai dokter dan jangan berlebihan. Aku ingin pulang dan tidur di rumah saja,"ucapku membuatnya menatap tidak percaya.
"Kak-,"
"Celine, coba beritahu pada Altezza. Acara kunjungan Dhito esok hari. Sepertinya dia lupa,"ucapku berusaha melepas infus sembari berlalu pergi.
Menahan rasa berdenyut di kepala dan sedikit sisa rasa nyeri. Aku tidak bisa bertahan lama dengan aroma menyengat rumah sakit. Karena seperti tertidur di laboratorium sepanjang malam. Tatapan semua tenaga medis seolah menyatakan hal kaget. Seolah aku aktor saja yang baru kluar dari maut.
"Mbak, saya ingin mengurus seluruh biaya selama perawatan atas nama Dyah Anggita,"ucapku mengeluarkan kartu dari dalam dompet.
Memang bukan kartu hitam mengkilap seperti yang dimiliki para komisaris besar perusahaan. Tapi cukup untuk menanggung hidup ku saat ini. Anisa yang tampak tergupuh menatapku sebal tidak bisa menolak setelah tau struk perawatan di tangan kanan.
"Heuh, aku nggak bisa membayangkan sesabar apa suami kakak nanti,"ucap Anisa membawa ransel ku di pundaknya.
"Mentang-mentang mau nikah, bahasannya suami terus. Kamu memberitahu orang rumah kalau aku sempat menginap disini?"tanyaku membuatnya mengangguk.
"Eh jangan marah dulu. Aku harus bilang apa? Aku bilang sedang di rumah sakit dan kakak sepertinya di apartemen. Demi kakak aku sampai berbohong,"keluh Anisa membuatku tersenyum puas.
"Dekorasi di rumah sudah siap?"tanyaku.
"Wedding organizer yang Kakak pesan begitu sigap,"ucap Anisa membuatku menghela nafas lega.
Sebuah brankar melaju begitu cepat membuatku segera menghentikan langkah. Tampak beberapa pria dengan rambut cepak membuatku teringat Dirga.
"Ck, suami orang,"batin ku sebal.
Mengapa malah teringat pria menyebalkan yang membuatku sampai ke Madiun beberapa hari lalu? Enggan memikirkan yang tidak-tidak, segera ku ambil langkah tegas keluar rumah sakit. Bukan hanya tubuhku yang sakit. Tapi jiwa ku ikut sakit karena memikirkan pria itu.
"Mbak Gita".
Seorang pria mengenakan pakaian santai berjalan mendekatiku. Sontak membuatku berkacak pinggang menatapnya sebal.
"Bukankah kalian tidak boleh bertemu sampai akad besok?"tanyaku garang.
"Iya, saya tahu Mbak. Tapi Bapak sendiri yang meminta saya menjemput kesini. Karena banyak tamu yang bertandang,"ucapnya.
"Bapak tadi sudah kabari Anisa juga, Kak. Mas Dyo yang jemput,"ucap Anisa membela.
"Ck, aku juga bisa mengendarai. Memangnya aku ini sekarat,"ucapku sebal berlalu menarik lengan Anisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana : Arutala Dirgantara
RomansaTERSEDIA JUGA DI GOODNOVEL DENGAN JUDUL MUNAJAT PERAWAN TUA "Untuk apa kamu cemas? Apa putrimu terlibat masalah?,"tanyaku. "Apa aku harus mengatakan dengan jelas? Apa menurutmu sekalipun kamu tidak peduli dengan sekitar tidak akan ada yang peduli d...