Berbagai jenis laporan yang kian menumpuk entah mengapa membuat kepala ku terasa berdenyut. Biasanya diriku akan merasa baik-baik saja menghabiskan seharian dengan pekerjaan. Bagaimanapun bentuknya, aku termasuk manusia pecinta kerja. Lantas dengan alasan apa yang membuatku merasa jenuh.
Mataku melirik sejenak menatap potret kala pernikahan ku mengenakan kebaya senada dengan beskap milik Dirga. Tak lupa putri manis ku berada di tengah kami. Aku jadi teringat dengan pesan kedua orang dalam foto itu. Semalam Rania memberitahu dirinya tidak sabar menunggu akhir pekan. Berbeda dengan Ayahnya tengah asyik di mabuk rindu.
Padahal bukan dirinya saja yang mengenggam rindu itu. Aku pun berada di sisi lainnya hanya malu untuk mengutarakan secara langsung. Pria itu tengah sibuk dengan istri pertamanya yang baru saja tiba dari Iswahyudi, Madiun. Jika saja ada cuti, mungkin sempat menjadi tempat bersua antara menantu dan mertua.
Sayangnya nasi telah menjadi bubur sejak awal. Tidak ada pilihan selain menambahkan kerupuk dan abon untuk menikmatinya. Perlahan ku hela nafas menatap kembali komputer. Sudah sejak satu jam lalu pasca kembali dari laboratorium rasa jenuh dan tidak nyaman terus melingkupi.
"Bu, Anda terlihat pucat. Apa tidak ingin berkunjung ke klinik sebentar?"tanya Celine mengantarkan berkas baru.
"Tidak perlu, Celine. Mungkin aku hanya kelelahan menyiapkan beberapa perlengkapan menyambut putriku di akhir pekan,"ucapku memijat kening pelan.
"Apa Anda perlu secangkir teh atau kopi untuk meringankan pikiran?"tanya Celine membuatku menggeleng pelan.
"Tidak perlu, Celine. Sejak kapan aku merasa sakit kepala hanya dengan melihat berkas sebanyak ini?"tanyaku heran.
Sepertinya sebuah anomali dalam diri ketika mendapati seorang gila kerja menundukkan kepala memilih membuang kejenuhan bekerja. Apa aku sedang anemia? Tapi tidak mungkin begitu saja terjadi tanpa ada pemicu. Aku bahkan tidak memiliki kegiatan sampai lembur.
"Tidakkah Pak Dirga akan mendapatkan seorang anak?".
Sontak pertanyaan itu membuatku mendongak melihat Dhito sudah berdiri sejajar dengan Celine. Sejak kapan pria itu berdiri disana? Biasanya aku mencium aroma elegan dari pria itu. Namun hidung ku seperti tersumbat tidak mendapati apapun segera berdiri mengingat posisinya di perusahaan tempat ku berdiri.
"Saya pikir tidak. Apa ada yang bisa saya bantu? Mengapa Anda meluangkan banyak waktu untuk datang kesini?"tanyaku.
"Satu jam lagi ada rapat pemilik saham memintamu secara khusus hadir disana. Saya sudah mengirimkan pesan tapi sepertinya ponselmu juga sedang tidak ada ditempat. Diana tidak hadir dan tidak bisa menghubungi Celine,"ucap Dhito membuatku tertegun.
Aku saja bahkan belum membicarakan pada Dirga mengenai bahasan pekerjaan yang akan ku geluti. Besar harapan ku tidak menduduki posisi besar tersebut. Terlebih aku pikir suatu saat akan berhenti dan mengabdikan diri pada Dirga. Hanya saja jika berbicara kapan, aku pun tidak bisa menjawabnya dengan benar.
Pria itu segera beranjak menuju sofa ruang tamu departemen sembari menyandarkan punggungnya. Kehadiran pria ini di departemen ku cukup membuat beberapa pasang mata menatap aneh sekaligus heran. Namun ku harap tidak akan menghasilkan sebuah gosip di belakang.
"Suatu kehormatan bila hadir dalam rapat tersebut. Namun sepertinya akan sia-sia menghadirkan saya disana,"ucapku.
"Kamu berhak memilih. Apa ini terkait keinginan Dirga melarangmu?"tanya Dhito membuatku menggeleng.
"Saya belum sempat bercerita,"ucapku.
"Kamu perlu mengatakan padanya agar tidak ada masalah di kemudian hari. Altezza pun akan hadir pada hari ini. Mungkin dia juga punya beberapa kalimat untuk dikatakan. Sepertinya cukup banyak file menunggu di ruangan. Jangan lupa siang nanti,"ucap Dhito segera beranjak membuatku mengangguk pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana : Arutala Dirgantara
RomantizmTERSEDIA JUGA DI GOODNOVEL DENGAN JUDUL MUNAJAT PERAWAN TUA "Untuk apa kamu cemas? Apa putrimu terlibat masalah?,"tanyaku. "Apa aku harus mengatakan dengan jelas? Apa menurutmu sekalipun kamu tidak peduli dengan sekitar tidak akan ada yang peduli d...