Bab 65 : Kembali ke Jakarta

66 9 0
                                    

Helaan nafas untuk ke sekian kalinya terdengar lirih di kedua telinga. Berkas pemindahan tugas pun telah tercecer di atas meja selepas perbincangan panjang kami. Belum lagi beberapa buah tisu di keranjang sampah turut melengkapi sajian malam. Tidak cukup sampai disitu, berbagai dokumen Rania tumpah ruah di atas meja.

Dirga memejamkan mata seraya mengusap wajahnya kasar membiarkan kepalanya dingin terlebih dahulu. Sedangkan aku hanya diam memandangi berbagai berkas di atas meja. Rania tidak berani berkutik memilih bergelayut di lengan ku. Nova kurang ajar itu malah membeberkan perkara kondisi kehamilan yang ku jalani.

"Rania. Kamu kembalilah ke kamarmu dulu. Ayah mau berbicara dengan Bunda,"ucap Dirga membuatku menatap nanar Rania.

"Bunda tidak bersalah, Ayah,"ucap Rania perlahan beranjak seraya menutup pintu.

Belum saja aku membuka suara, Dirga memberikan kelima jarinya menahan ku. Dia tidak sedang ingin mendengar penjelasan dari ku sedikitpun. Pria itu mengambil berkas pemeriksaan kehamilan dengan rahang mengeras.

"Kenapa kamu tidak pernah bercerita?"tanya Dirga menatapku dingin.

"Saya tidak mau masalah itu mengganggu kinerjamu di sana. Semuanya adalah murni dari kecerobohan ku,"ucapku.

"Lantas, apa artinya hubungan pernikahan jika masih ada perasaan tidak ingin mengganggu? Saya paham kamu bersikap profesional, Anggita. Tetapi permasalahan ini adalah tentang kita berdua. Keadaan itu tentu berbeda dengan menghubungi di dalam jam kerja. Sama halnya dengan kondisi kecelakaan di hangar, saya tidak memberitahu dahulu karena kamu sedang ada rapat,"ucap Dirga.

"Maka hal yang sama berlaku, Mas. Saat itu kamu sedang menjalankan tugas di sana. Mendengar kabar itu hanya akan mengganggu konsentrasi. Saya hanya berharap kamu kembali dengan baik dahulu,"ucapku.

Dirga menghela nafas berjalan mendekati ku. Aku hanya memalingkan wajah tidak berniat menatapnya. Ketika kedua kepala mulai memanas, pembicaraan lantang sekalipun bukanlah suatu hal baru. Pria itu duduk di sebelah ku seraya mengambil nafas pelan.

"Saya paham kamu pun khawatir. Tetapi itu sudah tugas saya, Dek. Jika perkara mengkhawatirkan keselamatan ku, maka kamu terlambat. Saya sudah menghabiskan belasan tahun di bawah panji Swa Bhuwana  Paksa. Di sisi lain, saya pun bertanggung jawab sebagai seorang suami yang mengayomi dan melindungi istrinya. Mulai sekarang berkatalah dengan jujur, apapun kondisinya,"ucap Dirga mengusap kepala dengan suara lirih.

Pandangan ku kabur dengan air mata yang sudah mulai mengucur sejak Dirga mengusap kepala. Dibandingkan berdebat panas, kata-kata pelan seperti ini jauh lebih membuatku merasa tersentuh. Sekalipun mataku sudah berair, perasaan gengsi masih menguasai diri.

"Kemudian, apa hubungannya dengan berkas pindah tugas ini? Berkas pengajuan pemindahan sekolah Rania juga ada dalam dokumen ini. Apa yang sedang kamu rencanakan?"tanya Dirga masih menggeleng pelan.

"Tidak ada gunanya lagi saat ini. Saat itu aku hanya seorang pemimpi yang mengharapkan pulang ke rumah bersama Rania dan anak ku berkumpul di Jakarta. Aku ingin membangun sebuah rumah seperti orang lain. Rumah yang dibawah atap ada seorang Ayah, Ibu dan anak. Tetapi semuanya tidak ada artinya setelah aku mengalami keguguran,"ucapku.

"Apa kamu masih menyembunyikan cerita lain?"tanya Dirga membuatku tersenyum sangsi menatapnya.

"Semua orang mengatakan kamu pasti akan hamil lagi. Tapi mereka lupa aku ini seorang ibu yang gagal. Saat aku selesai tindakan kuret, tubuh ku seperti kosong. Di sisi lain aku pun mendengar tangis bayi pasien lain di lorong. Itu menyiksa, Mas. Bayi yang membuatku mengalami banyak komplikasi itu hilang begitu saja. Mengapa harus aku yang diberikan ujian ini?"tanyaku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 29 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Renjana : Arutala Dirgantara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang