Bab 62 : Patah

32 6 0
                                    

Lantunan ayat suci Al Qur'an yang terdengar di kedua telinga begitu memasuki kompleks pesantren adalah sesuatu hal membahagiakan. Mobil ku hanya bisa memasuki bagian depan rumah kedua orang tua. Sebuah mobil sudah lebih dahulu memenuhi teras rumah membuatku menggenggam menahan kesal.

Aku terpaksa harus menerjang hujan di jalanan dan mengabaikan kontrol kehamilan selepas pulang dari kerja. Jika saja yang memintanya Rania untuk hal lain bukanlah masalah. Sedangkan penyebab diriku harus sampai di tempat ini adalah Halimah yang tidak memiliki perasaan sudah melewati batasannya.

Belum sempat beranjak masuk, aku memilih menyalakan perekam suara dan kamera tersembunyi untuk menghindari ada hal diluar dugaan. Setidaknya aku punya bukti untuk menjerat keduanya dan menjadikan senjata melawan ego bodohnya itu. Jika memang peduli bukan cuma peduli saat sudah dewasa. Dimana dia ketika anak itu menangis meminta ASI?

"Assalamu'alaikum,"ucapku sedikit kaget begitu menatap banyaknya pria berjaga di pintu rumah.

Apa-apaan ini.

"Wa'alaikumussalam. Biarkan dia masuk,"ucap seorang pria dari dalam membuatku beranjak masuk.

Mataku menatap heran Halimah dan seorang pria yang terlihat sangat berpengaruh duduk berhadapan dengan kedua orang tua ku. Sedangkan Rania segera memeluk ku dengan tubuh gemetar ketakutan. Tampak Halimah segera mendekati ku seolah mengeluarkan perhatiannya sebagai Ibu.

"Rania mau bersama Bunda,"ucap Rania di mengangguk pelan.

"Rania tunggu di dalam kamar ya, sayang. Bunda tadi beli kue sus di Tante Dwi kesukaanmu,"ucapku membuatnya segera beranjak.

"Rania, ayo pulang bersama Ibu saja. Ibu bisa membuat kue sus,"ucap Halimah membuatku mencekal lengannya.

Mataku menatapnya sengit merasa teritori ku diganggu. Aku paling benci hidup dengan serba keterpurukan. Tetapi aku lebih benci ada yang berusaha mengganggu hidup ku. Halimah menarik tangannya lepas membuatku menaruh tas seraya berkacak pinggang.

"Apa maksudnya ini? Aku memohon pada suami ku untuk memberikanmu kesempatan. Sekarang ini apa?"tanyaku tepat di depan wajahnya.

"Jaga bicaramu, Gita. Kamu tidak pernah merasakan mengandung dan melahirkan tidak perlu mengajari apa yang bisa dilakukan seorang Ibu?"tanya Halimah.

"Ibu? Dimana kamu saat anak itu menangis sedangkan Dirga tidak bisa memberinya ASI? Kamu menjebak Mas Dirga seolah dia benar-benar harus bertanggung jawab untuk kesalahanmu dan pacarmu,"ucapku tidak mau kalah.

Perempuan itu membulatkan mata menyadari fakta buruk baru saja dibuka. Bahkan Bapak dan Ibu sampai berpandangan saling tidak percaya dengan kondisi yang sedang terjadi. Sedangkan Halimah masih belum kehilangan akal untuk memaksa Rania pulang bersamanya.

"Apa urusannya denganmu? Aku tidak sedang membicarakan Dirga disini. Pria itu hanya menurut pada kedua orang tuanya saja,"ucap Halimah.

"Setidaknya dia tidak menerima semua wanita yang mengangkang dihadapannya. Tidakkah kamu tahu perbedaannya?"tanyaku tersengih.

"Hentikan pembicaraan tidak berguna ini. Kami sudah mengurus administrasi mengeluarkan Rania dari sini dan memindahkan ke Jakarta. Istriku sangat menyayangi anak itu dan masa lalunya tidak berkaitan dengannya,"ucap seorang pria yang akhirnya membuka suara.

Sontak mataku menatap tajam kedua orang tua yang sedari tadi memilih bungkam. Apa artinya semua ini? Apa mereka benar-benar buta membedakan mana perhatian dan mana sekedar memperbaiki nama? Aku sudah terlalu muak tidak ingin mengatakan pada keduanya. Saat ini penting bagiku mengusir para manusia tidak berbudaya ini.

"Mana mungkin. Hak asuh Rania ada pada Mas Dirga dan aku istri sahnya saat ini,"ucapku.

"Kamu pandai berkata-kata rupanya. Dirga Hadiraja Atmaja itu seorang perwira yang mungkin menduduki posisi penting dan mendapat karier yang baik. Apa ini tindakan istri seorang prajurit?"tanya pria itu membuatku memutar bola mata malas.

Renjana : Arutala Dirgantara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang