Bab 57 : Istri prajurit

140 10 4
                                    

Senyuman lebar Dirga masih belum mengendur sejak semalam. Berbeda dengan Bunda tidak hentinya mengomeli ku karena terlambat memberitahu. Azhara yang datang dengan perut buncit nya pagi ini turut mengucapkan selamat membuatku merasa ngeri. Masalahnya perempuan itu menjadi cukup pemarah. Entah berapa kali dirinya mengomeli Aditya.

"Kamu tuh harus mengurangi emosi, euy. Coba bicarakan baik-baik,"ucapku membuatnya menggeleng tidak setuju.

"Tidak bisa. Mas Aditya itu suka mengundang emosi, Git. Kamu tahu kemarin itu ku bilang suruh ambilkan jemuran malah dimasukkan ke dalam keranjang baju kotor. Belum lagi waktu diajak konsultasi ke dokter malah sibuk berbincang sampai akhirnya antreannya kelewatan,"ucap Azhara menggebu membuatku terdiam.

"Tetap saja kalau melahirkan kamu perlu dia disisinya. Dia masih bingung cara menjadi calon Ayah. Berbeda dengan Mas Dirga,"ucapku menjelaskan.

Azhara hanya menghela nafas lelah menatap dua orang pria yang sedang berbincang di luar. Keduanya memang berbeda secara pengalaman. Tetapi aku yakin keduanya punya cara tersendiri menghadapi masa menjadi seorang ayah. Jika dipikirkan, Aditya tidak jauh berbeda dari Dirga. Dalam seharian ini, aku sudah banyak mengomel melihat berbagai benda yang terlihat tidak rapi.

"Bagaimana persiapan menyambut tamu, Azhara? Aku dengar tamu kita ini 'spesial'. Bahkan Ibu mertua ku pun mengatakan hal yang sama,"ucapku.

"Aku sempat bertemu dalam pertemuan waktu itu bersama Ibu Pia yang lain. Dia memang cukup sarkas dalam berbagai urusan. Apalagi kalau membahas masalah kedudukan istri pasti mengulitimu habis-habisan. Bu Chandra saja sampai tidak enak hati,"tutur Azhara membuatku tersengih.

Aku suka perkelahian.

Sepertinya wanita yang mengaku dirinya sangat menghormati suaminya itu perlu diberikan pelajaran. Apakah dirinya begitu terhormat dan memiliki segalanya sehingga bisa menghina orang lain seenaknya? Aku sudah sempat meminta Celine mencari profilnya. Dengan membaca profilnya sudah cukup membuatku tergelak ringan tidak bis membayangkan jika rencana ku berhasil.

"Apa dia pikir semuanya bisa diinjak seenak hati? Mentang-mentang dia istri petinggi bisa bertingkah seperti penguasa saja,"ucapku tersenyum miring.

Huek

Akh, sial.

Baru saja memikirkan rencana hebat, perut ku kembali mengulang rasa mual rutin. Padahal aku pun sudah sarapan pagi ini. Tidak bisakah saat masa kehamilan membuat seorang wanita terlihat kuat dan berkharisma? Aku malah terlihat seperti wanita penyakitan stadium akhir saja. Bahkan parfum ku harus diganti dengan aroma minyak buah-buahan.

"Semoga anakmu mirip Dirga. Entah apa jadinya kalau sifatnya mirip denganmu,"cibir Azhara membuatku memutar bola mata malas.

Jika dia menjadi Dirga tidak akan merepotkan ku dengan sifat keras kepala. Dia akan menjadi anak yang berbudi luhur dan sabar. Berbeda dengan sifat ku yang cenderung keras dan sangat tidak bisa menunggu. Seperti saat ini Dirga menyarankan menggunakan kendaraan umum saja akhirnya membuat semua orang menunggu. Termasuk aku.

"Ibu Dirga,"sapaan hangat beberapa perempuan diluar sana membuatku segera beranjak.

"Wah Ibu-Ibu kesayangan saya sudah datang. Saya sudah pesan kendaraan untuk ke sana. Kalau menggunakan kendaraan pribadi khawatir terkena macet,"ucapku melirik jam tangan.

"Ayo ke depan kendaraannya sudah datang,"ajak Dirga menggandeng ku tanpa segan.

Sontak membuatku melotot merasa malu di gandeng di depan banyak mata. Meskipun kita berdua sudah menikah. Tetapi menampilkan kemesraan di depan umum seperti ini membuatku malu. Kedua pipi ku sampai memerah menolak di gandeng. Tetapi Dirga masih saja kekeuh tidak mau melepaskan membuatku pasrah menimbulkan sorakan riuh.

Renjana : Arutala Dirgantara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang