Bab 58 : Rencana

122 11 4
                                    

Rasa iri dengki memang seharusnya dihapuskan dalam segala urusan.

Mungkin itulah kalimat pembuka yang bisa menggambarkan situasi saat ini. Kebahagiaan ku bisa kembali berkumpul dan menjalankan tugas menjadi istri prajurit malah membuat tubuhku terbaring di atas ranjang. Dokter meminta ku bedrest 2 hari di rumah sakit setelah kelelahan kemarin.

Baru saja hendak berpamitan antar skuadron tubuh ku terasa lunglai dan terjatuh begitu saja. Tetapi makna kata iri dan dengki itu memang bukan hal yang salah. Setelah siuman dari pingsan, aku menemukan kabar perempuan gila hormat itu menyebarkan gosip diriku hamil tanpa kejelasan. Mengingat aku bekerja di pabrik semakin mendukung kata-katanya membuatku ingin mendorongnya dari prilling tower.

Berita itu terus menjadi perbincangan hingga malam tiba membuatku ingin segera menemuinya. Apa dia pikir aku menjual diri di pabrik? Pencapaian yang tinggi di usia muda dan oleh seorang perempuan seolah menjadi kesalahan ku. Bahkan tidak jarang dikaitkan pada Ardhito. Apa dia sebegitu tidak punya kerjaan sampai menyebarkan fitnah tidak sedap?

"Dek, makan dulu".

Bahkan saat mendengar suara Dirga membuatku semakin enggan menelan makanan. Pria itu pun menjadi korban atas tuduhan yang tidak berdasar. Dirinya malah menjadi sasaran sosok pria tidak bertanggung jawab. Dahulu dirinya gagal menikah dengan Halimah. Setelahnya Halimah rupanya mendapatkan suami yang jauh lebih baik hingga kerap kali membagikan postingan di media sosial.

Sekarang dengan ku, perempuan yang bekerja di pabrik. Apa pikirannya sungguh kolot? Apa pria itu tidak terlihat lebih dari sabar? Hatiku benar-benar bergemuruh tidak lantas menjadi lemah. Aku semakin murka ingin memukul siapa saja yang mendekati ku. Aku tidak bisa tinggal diam seperti ini. Masa depan Dirga juga berada dalam tingkah laku ku.

"Git".

Panggilan lantang itu sontak membuatku segera bangkit menatap Bunda memegang bubur ayam. Sepertinya perempuan itu baru saja tiba membuatku melirik Dirga sudah beranjak meninggalkan ruangan. Perempuan itu beranjak mendekati ranjang membuatku menunduk dalam merasa bersalah untuk kasus yang turut menyeret Dirga.

"Gita minta maaf belum bisa menjaga nama baik Mas Dirga, Bun,"ucapku pasrah.

"Apa kamu merasa kabar itu benar?"tanya Bunda membuatku menggeleng pelan.

"Jika saja aku tidak terikat dengan Dirga hingga menyangkut tingkah laku, sudah pasti saat ini perempuan itu hilang jejak dan ditemukan mati di dalam boiler,"ucapku berapi-api membuatnya terkekeh geli mengusap kepala.

Perempuan itu beranjak merapikan rambut ku dahulu. Mengusap keringat yang masih bercucuran di kening sembari menurunkan temperatur pendingin ruangan. Tidak lupa, dirinya mengusap wajah ku kembali rapi seperti sedia kala. Meskipun dirinya memiliki karakter keras, saat ini aku tidak bisa membaca gerak-geriknya sama sekali.

"Jangan hilangkan kemarahan itu. Biarkan meluap hingga tumpah ruah. Bunda percaya kamu gadis baik saat pertama kali melihatmu di bandara. Bukan karena kamu dan jabatanmu. Apapun posisi dan profesimu dapat Bunda terima. Tetapi begitulah hukum alamnya, Nak. Semakin tinggi pohon maka anginnya akan semakin kencang.

Kalau kamu memang nakal, maka tidak akan ragu menyentuh Dirga dan banyak cerita beredar di dalam pabrik. Tetapi Bunda tidak mendapatkan cerita itu. Bunda hanya mendapatkan cerita, Gita menangis setelah berhubungan apakah baik-baik saja? Gita tertidur di kantor karena lembur 3 hari. Gita telat makan sampai masuk rumah sakit. Gita hampir pingsan karena kurang istirahat,"ucap Shafiya.

Sontak kedua mataku melotot tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan Shafiya. Bahkan hal terkecil seperti diriku sering tertidur di kantor sampai di telinganya. Apa mungkin dirinya menaruh mata-mata di dekat ku? Mengapa dirinya bisa tahu semua aib yang ku tutup dari Dirga? Aku sengaja menyembunyikan enggan membuat Dirga merasa khawatir. Tetapi semua itu malah diketahui mertua ku.

Renjana : Arutala Dirgantara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang