Bab 52 : Pelangi

135 14 6
                                    

Tepukan lembut di bagian pipi membuat kedua mataku lantas terbuka. Dirga masih betah memelukku pagi ini. Bibirku tersungging melihat pemandangan yang selalu menjadi mimpi bagiku tersaji di depan mata. Biasanya antara aku dan dirinya bangun masing-masing sibuk mempersiapkan hari.

"Saya sudah meluangkan waktu untuk berjumpa. Apakah saya bisa mengajak bertemu di hari libur nasional di Madiun?"tanya Dirga mengemukakan kembali idenya semalam.

Pria itu ingin mengadakan perjumpaan keluarga untuk menghibur ku. Tapi bagiku pertemuan itu bukan hanya sebuah momen formalitas. Sejak menikah, aku belum pernah berbakti pada kedua mertua dan hanya saat itulah bisa bertemu Rania lagi. Aku dan Dirga akhirnya sepakat memberitahu Rania informasi itu tanpa perantara orang lain.

Fakta memang lebih menyakitkan dari khayalan. Tetapi semua hal itu akan lebih baik dinyatakan sejak awal sebelum Rania beranjak dewasa. Perubahan emosional anak-anak ketika mendapati sesuatu yang mengerikan seperti itu bisa memicu kenakalan remaja. Disaat itu terjadi, membimbingnya kembali ke jalan yang benar masih bisa dilakukan.

Sedangkan saat dirinya telah beranjak dewasa akan merubah kehidupannya secara total dan menjadi kepribadiannya. Membimbing kepribadian remaja masih mudah karena anak muda masih memiliki emosi yang labil. Berbeda dengan orang dewasa yang cenderung stabil dan sulit goyah.

"Saya tidak bisa berjanji tetapi saya usahakan,"ucapku membuatnya mencium kening pelan.

"Ayo bangun. Saya mau pergi jamaah sholat Subuh,"ucap Dirga membuatku terkekeh geli.

"Biasanya saya yang bilang begitu,"ucapku beranjak ke kamar mandi.

"Dek, mau ikut,"ucap Dirga membuatku menatapnya tajam.

Bukannya terdiam dirinya malah terkekeh turun dari ranjang membuatku segera mengunci pintu kamar mandi. Sebuah notes yang ditinggalkan di balik pintu sudah menggambarkan dirinya sudah bangun lebih dahulu.

"Selamat pagi, Nyonya Dirga".

Ucapan yang sebenarnya kalimat biasa itu sukses membuat pipi ku memerah. Bunyi musik keroncong yang terputar dari kamar pertanda pagi sudah tiba. Sesaat aku seperti menjadi penikmat keroncong. Seolah tengah menyaksikan sendiri bagaimana sebuah lagu itu dibuat. Berada di tepi sungai Bengawan Solo dengan gemericik air yang melalui.

Akh, sial.

Aku malah tertular diksi Dirga yang terbiasa menggambarkan sesuatu secara filosofis. Terdengar seperti orang tua yang memberikan wejangan pada anaknya saja. Padahal melihat penampilan Dirga tidak akan ada yang menduga dirinya adalah duda beranak gadis remaja. Bunda sangat menjaga pola makannya membuat wajahnya lebih awet muda.

Dinginnya pagi yang merayapi membuatku memeluk erat tubuh enggan keluar dari mukena. Padahal sebelum berangkat ke masjid, pria itu sudah meningkatkan temperatur pendingin ruangan. Ini terlalu pagi untuk rutinitas harian yang ku lakukan. Biasanya aku akan mandi di jam setengah 6. Sedangkan pagi ini aku mandi sebelum jam 5.

"Bunda, mau teh?"tawar Rania membuatku mendongak menatap secangkir teh dengan sekumpulan uap.

"Aku seperti manusia pemalas, Dek. Duduklah di ruang tamu. Aku mau memasak,"ucapku segera beranjak.

"Tidak perlu, Bun. Ayah mengajak kita jalan pagi ke Sunday market,"ucap Rania membuatku mendongak.

"Ayahmu benar-benar memeras jiwa sosial ku,"ucapku menatap seorang pria yang tengah menonton berita.

Wajahnya tampak begitu serius sembari menikmati teh hijau membuatku segera bergabung. Senyumannya merekah begitu saja menimbulkan tanda tanya. Apa yang sedang dirinya pikirkan hingga begitu bahagia.

Renjana : Arutala Dirgantara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang