Bab 63 : Merangkai Kembali

34 8 0
                                    

Plester luka yang menutup bekas infus di tangan kanan terlihat senada dengan pakaian ku. Setelah dua hari menjalani perawatan intensif, aku diperbolehkan pulang ke rumah. Dibandingkan merepotkan orang lain, aku memilih untuk tinggal di rumah dinas saja. Tetapi kedua pihak orang tua itu tidak mau kalah ingin menjaga ku. Dengan banyaknya pertimbangan dan pembicaraan keduanya, akhirnya Ibu yang memenangkannya.

Sekaligus bentuk permintaan maaf pada mertua ku. Sedangkan mertua ku menganggap ini hanya musibah dan semua urusan ada di tangan takdir. Bunda dan Rama terbang ke Madiun pagi tadi. Menyisakan ku bersama Rania dan Ibu di rumah ini. Berita ini begitu cepat menyebar hingga ke rekan kerja. Kecuali persatuan istri prajurit. Hanya Azhara saja yang mendengar kabar itu setelah menelfon beberapa waktu lalu.

Aku sengaja tidak ingin mengungkapkan ini pada publik untuk menghindari masalah. Apalagi Dirga juga sudah berada dalam tahap kembali dari tugas. Aku ingin dia baik-baik saja dan tidak mengkhawatirkan ku terlalu jauh. Entah aku harus bersyukur atau seperti apa saat mengetahui sinyalnya hanya mampu mengirimkan pesan. Setidaknya dia tidak akan mendengar suara sengau yang ku timbulkan.

"Git. Makan dulu,"ucap Ibu membuatku mengangguk pelan.

"Aku akan makan nanti,"ucapku mengerjakan draf yang tersisa.

"Makan tepat waktu itu bagus untuk pemulihan,"ucap Ibu menarik paksa ku ke meja makan.

Apa boleh buat?

Perempuan itu benar-benar membuatku seolah tidak sedang sakit. Tetapi latihan militer dengan makan tepat waktu, istirahat cukup dan mengurangi gerakan. Aku tahu dirinya masih merasa bersalah atas tindakannya beberapa waktu lalu. Sekarang bukan saatnya untuk menyesal. Sekalipun aku masih sering menangis diam-diam saat sebelum tidur.

"Aduh. Bekalnya Rania ketinggalan,"ucap Ibu mendapati kotak bekal anak gadis ku.

"Rania sudah membawa uang dan dapat makan siang di sekolah, Bu,"ucapku menyendokkan nasi ke mulut.

"Katanya Ibunya. Tapi masih belum mengerti anaknya. Rania itu suka cemilan dan kalau sudah sore sering lapar. Biasanya dia datang ke rumah untuk ketemu sepupu kecilnya sambil makan cemilan. Kadang Ibu buatkan pisang keju. Kadang Anisa membawakan donat dan martabak,"ucap Ibu membuatku tersenyum kecil.

Aku salah sudah meragukan kasih sayangnya pada Rania. Dia hanya tidak ingin anak itu kehilangan kasih sayang dari orang tua kandung. Tetapi faktanya orang tua kandungnya baru peduli setelah dia besar. Kemana saja mereka selama ini?

"Pantas waktu di rumah sakit sering hilang. Ternyata dibawa sama Tantenya cari cemilan,"ucapku terkekeh geli.

"Oh iya. Kata Mbak Shafiya, Mas Dirga mau pulang dalam seminggu ini,"ucap Ibu membuat senyum ku mengendur.

Aku sudah banyak menceritakan hal tentang Dirga padanya. Khususnya kekhawatiran saat Dirga mengetahui aku malah keguguran dan tidak pandai menjaga anak. Betapa kecewanya dia saat mendengar berita itu. Bayangan ketakutan itu terus mendera sekalipun sudah di bujuk berkali-kali.

"Mas Dirga masih mampu membuatnya lagi. Anisa juga sudah menjelaskan masih bisa mengandung lagi,"ucap Ibu mengusap kepala ku.

"Aku lebih takut membuat lagi, Bu. Aku takut kalau anak ku nggak bisa bertahan di rahim Ibunya yang sensitif,"ucapku.

"Coba dulu baru mengeluh,"ucap Ibu membuatku menghela nafas panjang.

Ibu mana yang tidak trauma setelah mengalami keguguran. Khususnya ini adalah anak pertama yang hadir dalam pernikahan. Mataku melirik cincin yang entah sejak kapan melingkar di jemari. Selama ini aku enggan mengenakan cincin karena khawatir akan korosi saat ku pakai di pabrik.

Renjana : Arutala Dirgantara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang