Berbagai perlengkapan pria itu berangkat untuk urusan diluar kota telah lengkap di kopernya. Mengapa aku harus bermain jarak saat sedang hamil? Sepanjang malam aku hanya tersenyum kecil tidak banyak merespon. Dirga sudah sering melakukan perjalanan dinas sebelumnya. Tetapi hal yang membuatku khawatir adalah pria itu mengendarai pesawat.
Bukannya aku tidak percaya padanya. Tetapi merasa kurang baik dengan kalimat akan membawa pasukan itu. Diluar catatan prestasinya, aku hanyalah orang awam yang khawatir mendengar pria itu akan melakukan penerbangan. Apalagi setelah mengalami turbulensi hingga membuatku kehilangan akal.
"Izin, Bu. Apa ada yang kurang benar dari pelaksanaan kantin digital ini?"tanya salah satu anggota Pia.
"Akh, ya. Maaf saya malah kurang fokus. Semuanya sudah berjalan dengan baik,"ucapku lupa sedang berada dalam pertemuan singkat.
Aku belum bertemu pria itu lagi setelah usai sarapan. Sekarang jika ku pikirkan, akan lebih baik kalau kita berdua sama-sama bekerja. Aku fokus dengan urusan pabrik dan dirinya sibuk dengan penerbangan. Setidaknya aku tidak perlu khawatir terjadi sesuatu pada dirinya.
Drrt
Dering telfon berbunyi cukup lantang membuatku melirik nama yang tertera di atas layar. Tidak biasanya perempuan ini menghubungi ku secara tiba-tiba setelah menikah. Dirinya hanya menghubungi ku sesekali saja. Ada apa dengan dirinya itu?
"Git. Perutku sakit sepertinya sudah mulai kontraksi. Ketuban ku juga sudah pecah. Aku tadi menghubungi Mas Aditya ternyata dia lupa membawa ponselnya".
Sontak segera ku matikan ponsel mengalihkan penutup perbincangan kegiatan Pia hari ini. Sejujurnya aku pun tidak tahu tindakan apa yang harus ku ambil disaat ini. Sekarang sudah jam sebelas pertanda sebentar lagi jam makan siang. Jalanan pasti sangat macet dan sulit untuk memecah kemacetan.
"Bagaimana ini? Jalanan pasti sudah mulai macet,"ucapku bingung terlebih setelah menatap wajah pucat Azhara.
"Git. Ambilkan ransel di dalam kamar yang warna biru. Itu ada perlengkapan untuk bayi,"ucap Azhara terengah membuatku segera beranjak mengambil perlengkapannya.
Permasalahannya adalah bagaimana cara menangani proses kelahiran jika terjadi lebih cepat dari perkiraan. Kepala ku terpaksa ditekan untuk berpikir cepat sembari berjalan kesana kemari mencari penyelesaian. Jika membawa Azhara ke rumah sakit, resiko melahirkan di jalan akan lebih tinggi. Belum lagi polusi Kota Jakarta sudah cukup membuatku menghela nafas lelah.
"Tidak apa-apa, Bu. Sebelum memutuskan berhenti, profesi saya bidan. Saya juga sudah menghubungi bidan terdekat dan bisa datang setengah jam lagi,"ucap Bu Chandra.
"Setengah jam lagi bisa jadi anaknya sudah lahir. Berikan alamatnya dan katakan saya yang akan menjemput. Bu Chandra disini saja,"ucapku memikirkan kendaraan untuk ke sana.
"Ini alamatnya, Bu. Tetapi Bu Dirha ke sana naik apa?"tanya Bu Chandra membuatku menggeleng pelan.
"Tidak perlu khawatir,"ucapku segera berlari ke rumah.
Motor pria itu sedang dipakai ke kantor dan tidak ada pilihan lain. Aku masih bisa memakai sepeda meskipun sepertinya harus bergerak sekuat tenaga. Mau bagaimana lagi? Daripada aku terjebak kemacetan bersama dengan mobil Dirga lebih baik membakar kalori.
Kenapa juga matahari siang ini terlihat begitu terik? Belum saja memasuki jalan raya, keringat ku sudah semakin bercucuran. Aku yang jarang berolahraga pun menjadi kesulitan jika seperti ini jadinya. Berbagai kendaraan yang tengah terjebak kemacetan tidak hentinya menekan klakson menambah hiruk pikuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana : Arutala Dirgantara
RomanceTERSEDIA JUGA DI GOODNOVEL DENGAN JUDUL MUNAJAT PERAWAN TUA "Untuk apa kamu cemas? Apa putrimu terlibat masalah?,"tanyaku. "Apa aku harus mengatakan dengan jelas? Apa menurutmu sekalipun kamu tidak peduli dengan sekitar tidak akan ada yang peduli d...