Bab 50 : Tamu

115 15 4
                                    

Nafas ku tidak berhenti berdegup kencang menatap pemandangan di bawah sana. Entah bagaimana dengan bodohnya tidak sempat mengatur tempat duduk dan berada tepat di sebelah jendela. Keringat dingin mengucur deras membasahi pelipis ku sejak setengah jam yang lalu.

"Apa ada yang membuatmu cemas, Dek?"tanya Dirga membuatku mendongak seraya menggeleng.

Sepertinya kalau menyatakan pada Dirga diriku takut duduk di dekat jendela pesawat terlalu memalukan. Pria itu bahkan terbiasa melakukan manuver di angkasa seorang diri tanpa gentar. Entah bagaimana cara ku untuk tetap diam dan tertidur tanpa berpikir tengah melawan ketakutan yang mendera.

"Bicaralah,"ucap Dirga menggenggam tangan ku.

"Saya takut duduk di dekat jendela, Mas,"ucapku lirih memalingkan wajah.

"Saya tidak bermaksud mempermalukan dengan tingkah kekanakan. Maaf, Mas. Saya baik-baik saja,"ucapku cepat sebelum bibirnya terbuka.

Dirga menghela nafas pelan disertai dengan kekehan kecil. Pria itu mengusap kepala ku sembari menunjuk ke arah luar jendela. Apa maksudnya itu? Bahkan melihat lautan biru berhiaskan kumpulan awan tidak membuatku merasa damai. Imajinasi ku malah terjerumus membayangkan betapa naasnya saat lautan itu menelan seisi pesawat.

Dirga sepertinya ingin membuatku pingsan hanya dengan menguji ketakutan. Aku tidak takut terhadap ketinggian sebagaimana saat di pabrik terbiasa menaiki tangga monyet hingga menara Stripper. Namun tidak untuk melihat ke luar jendela saat berada di pesawat.

"Apa yang membuatmu sampai begitu takut, Dek?"tanya Dirga.

"Saya tidak bisa berhenti membayangkan seisi pesawat jatuh ke dalamnya,"ucapku.

"Pikiranmu terlalu jauh, Dek. Coba lihatlah sisi lain dari pemandangan birunya lautan itu. Lautan tidaklah mengerikan sebagaimana apa yang ada didalam kepalamu, Dek. Lihatlah sisi lain dari sebuah lautan. Di antara bumi yang bisa memilih untuk subur di tanah manapun. Luasnya langit pun bisa memilih bintang yang menghiasinya malam ini.

Sedangkan lautan tidak pernah memilih untuk semua hal itu. Diberikan tetesan air tawar tidak membuatnya menjadi tawar. Semua limbah membasahinya pun tidak membuatnya lantas mengutuk manusia. Dia menyadari letaknya yang rendah membuat semua kotoran mengenainya. Dia tetap diam dan menyimpan dengan baik apa yang berlindung dibawahnya,"ucap Dirga.

Setelah sekian lama tidak mendengarnya memberikan wejangan, Dirga membuatku kembali terdiam. Pengalaman hidup yang dirinya dapatkan memberikan makna mendalam dari setiap kalimatnya. Sejenak ku hela nafas panjang sembari memandang lurus menghindari jendela.

"Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan saya untuk Rania, Mas,"ucapku.

Dirga menatapku lekat menanti kalimat selanjutnya beserta penjelasan yang ingin ku katakan. Perlahan ku nyalakan tablet menunjukkan diagram mengenai rencana di masa mendatang untuk Rania. Aku memang tidak melahirkannya tetapi saat ini tanggung jawab telah menjadi milikku.

"Saya ingin Rania sekolah di International School dekat dari pabrik. Keputusan ini bukan saya ambil tanpa dasar. Saya ingin memberikan pendidikan terbaik untuk Rania. Yang kedua, saya ingin dekat dengannya. Saya ingin menjadi ibunya seutuhnya yang mengasuh dan mendidiknya, Mas,"ucapku.

"Dek, Rania tidak semudah itu. Kamu belum mengerti apapun tentangnya,"ucap Dirga membuatku memutar bola mata malas.

Terakhir kali aku berkelahi karena pandangannya begitu rendah terhadap Rania. Sekarang saatnya aku memberinya garis tegas untuk melihat Rania bukan hanya sosok anak nakal saja. Sudah cukup berkelahi dan saling keras kepala. Aku harus bisa lebih keras kepala dibandingkan dirinya.

Renjana : Arutala Dirgantara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang