15. Kesatria berpedang hitam.

113 16 17
                                    

Laut berdiri di samping pohon rindang yang cukup besar nan tinggi di dekat danau. Ia menyadarkan tubuhnya pada pohon, lengannya merogoh pada saku celana bagian belakang, mengambil satu kotak rokok, kemudian ia membuka dan mengambil satu batang rokok. Rokok itu ia himpit pada mulut nya, lengan yang satunya sibuk mencari korek untuk menyalakan nikotin yang masih bertengger pada mulutnya.

"Masih pagi. Mau mencemari udara?" Sindir seseorang dari arah belakang Laut, namun ia memberikan barang yang sedang di butuhkan Laut saat ini.

"Thanks." Katanya, saat menerima korek.

"Jadi gimana nih dongeng nya?"

Laut menghembuskan asap rokok "Dongeng? Dongeng apaan?" Tanya Laut bingung.

"Ya'elah..." Orang itu memberi tonjokan pada bahu Laut, yang sudah di pastikan cukup kencang. Laut hanya dapat meringis.

"Ibun! Ini masih sakit." Ujar Laut.

"Cerita buruan! Bunda lu tuh, ngeluh mulu tiap cerita lu sama Hanan." Ucap orang yang Laut panggil Ibun.

Ibun ini adalah sahabat dari Bunda nya.  Nama aslinya ialah Anggun. Ibun, hanya nama panggilan saja, beliau ini yang mengurus panti yang cukup besar di kota ini. Ibun ini adalah ibu dari Tara, iya Tara sahabatnya Hanan.

"Ngeluh apa?" Tanya Laut sambil menyesap nikotin itu.

"Lu berdua gak pernah ngerepotin." Jawabnya.

"Kok gitu?"

Laut bingung, Anggun malah lebih bingung dengan sahabat nya itu.

"Gini ya, si Aster tuh pengen lu berdua repotin dia. Selayaknya anak lah gitu." Jelasnya. "Contoh nya kaya, kemarin si Hanan waktu kecelakaan kecil itu, lu harus nya telepon dia, otomatis dia kan bakalan buru-buru balik, ninggalin kerjaan nya. Terus contoh lainnya itu, ini nih " Anggun meninju pelan bahu Laut. "Harusnya lu langsung ke rumah sakit, kalau nggak ya... minimal bisa minta tolong obatin ke Bunda lo. Bukan nya diam, diam aja." Jelasnya panjang lebar.

Laut yang sedari tadi mendengar penjelasan Ibun sambil menyesap habis rokok nya, dan sekarang ia menginjak rokok itu untuk mematikan nya, kemudian ia buang ke tempat sampah yang ada di dekat nya.

Laut tidak punya banyak kata saat ini. Untuk menanggapi penjelasan dari Ibun tentang Bunda. Ia hanya tidak mau melihat sang Bunda menangis, terlalu khawatir apalagi gara-gara dia sendiri.

"Kenapa lu diam?" Tanya Ibun.

"Gue, Cuma gak mau liat Bunda nangis gara-gara gue." Ucap nya terus terang.

Ibun hanya mengangguk saja. "Tapi lu gak boleh diam-diam aja. Bunda lu cuma tau cerita lu yang senang-senang aja. Dia tau cerita atau kabar buruk tentang lu tuh dari banyak sumber, dia tuh pengen denger dari orang nya langsung. Lu masih sungkan apa?"

"Nggak lah." Sangkal nya.

"Terus apa? Nggak mau Bunda sedih? Nih ya Laut, gue kasih tau, yang namanya hidup itu bakalan berdampingan sama sedih, senang, kecewa, suka, duka, patah hati, marah dan lain sebagainya. Dan lu... Gue beneran heran sama lu." Ucap Ibun keheranan melihat Laut.

Laut hanya menatap Ibun bingung.

"Lu cuma ngasih rasa bahagia aja, sama Bunda lu dan si Hanan. Lu tuh kaya mengendalikan semuanya cuma buat Aster sama Hanan jauh dari kata 'sedih dan kecewa' sebenernya itu bagus, tapi apa itu nggak menjadi beban buat lo? Bikin mereka berdua happy terus di sekitar lu. Dan asal lu tau, hidup itu gak bisa lu kendali-in kaya yang udah lu lakuin, buat Aster sama Hanan. Di belakang lu mereka sering nangis juga, kaya apa kata gue sebelumnya, yang hidup, itu berdampingan dengan banyak rasa."

Laut Kasih | Mark Lee [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang