Those Spring Memories With You (PART III)

3 0 0
                                    

Beberapa hari telah berlalu dan tidak ada kabar bahwa Theresa telah ditemukan. Bahkan Theresa tidak pernah terlihat kembali menuju Versailles dan membuat Elara cemas akan keamanan Ibunya di Luxembourg. Ia hanya bisa berharap bahwa Marius benar-benar tidak akan melukai Ibunya tetapi ia juga tidak bisa menyangkal kemungkinan Marius mengingkari sumpahnya.

Kecemasan Elara memuncak ketika ia menemukan sebuah surat di dalam kamarnya yang ternyata adalah surat untuk Ayahnya dari Luxembourg. Isi dari surat itu mengatakan Theresa telah disandera dan penyebabnya akan diberitahukan setelah Theresa berhasil diasingkan dari Eropa. Surat itu juga mengatakan raja wajib ikut dalam misi penyelamatan dan memohon maaf di Grand Ducal Palace atas apa yang telah ia lakukan beberapa tahun yang lalu.

Elara sangat khawatir sampai suratnya selalu ia genggam ketika ia di dalam kamarnya. “Ayah tidak tahu apa-apa… Sebenarnya apa yang terjadi saat itu?” gumam Elara kemudian bergegas keluar dari kamarnya untuk menemui ksatria pribadinya.

Melihat Elara begitu terburu-buru keluar dari kamar lantas membuat ksatria terkejut. “Tuan putri? Ada apa?” tanyanya dengan nada khawatir.

“Bawa aku ke Grand Ducal Palace,” perintah Elara dan dibalas gelengan kepala oleh ksatrianya.

“Saya memohon maaf, tuan putri. Saya tidak dapat melakukan perintah Anda jika itu berhubungan dengan mengeluarkan Anda dari kastel ini.”

“LANTAS AKU HARUS APA?!” teriak Elara secara tiba-tiba tetapi hal itu tidak membuat ksatria di hadapannya tersentak sedikitpun. “Semua ini salahku. Aku yang menerima ajakan Ibu ke Luxembourg dan menyetujui perintahnya untuk kembali ke Versailles sendirian, sementara aku tahu Ibu sedang dalam bahaya. Apakah aku tidak berhak untuk ikut menyelamatkan Ibu karena aku yang telah membahayakannya?” suara Elara semakin mengecil bersamaan dengan tubuhnya yang terjatuh ke lantai. Tetesan air mata turut menampakkan dirinya pada wajah Elara.

Ksatria di hadapannya hanya bisa bergeming melihat keadaan Elara. Peraturan yang paling utama yang harus dipatuhi sebagai ksatria pribadi keluarga kerajaan adalah tidak diperbolehkan untuk menyentuh dan mendekati keluarga kerajaan barang sedikitpun. Tugasnya hanya melindungi dari mara bahaya dan hanya itu yang dapat dilakukan oleh ksatria pribadi.

Tak lama kemudian, Elara menolehkan kepalanya untuk menatap ke arah lorong ketika mendengar suara menggema dari langkah kaki banyak orang yang tampaknya sedang berlarian di dalam kastel. Elara perlahan bangkit tanpa memalingkan pandangannya dari lorong.

“Beri jalan untuk yang mulia ratu dan raja penguasa Versailles!”

“Ibu?” gumam Elara lalu dengan cepat berlari menyusuri lorong menuju asal suara yang baru saja ia dengar, diikuti oleh ksatria pribadinya di belakang.

Sesampainya di aula di mana Elara yakin adalah tempat suara itu berasal, Elara hanya melihat para penjaga kastel yang tengah berbaris dan terdapat Ayahnya di tengah aula. Ayahnya menatap lekat diri Elara yang tengah berlari menuruni tangga menuju tempatnya berdiri.

“Ayah? Tadi saya dengar Ibu juga telah kembali. Di mana Ibu?” tanya Elara sesampainya ia di hadapan Ayahnya.

“Elara, berlarian di dalam kastel itu berbahaya. Bagaimana jika dirimu jatuh dan terluka?”
Elara menatap Ayahnya tidak percaya setelah Ayahnya berusaha mengganti topik. “Tolong jawab pertanyaan saya, Ayah. Di mana, Ibu?” tanya Elara bersikeras untuk mengetahui keberadaan Ibunya.

Ayahnya menghela nafas dan ekspresi wajahnya melunak. “Ibumu sedang tidak bisa ditemui siapapun, Elara. Tampaknya ia sedang trauma berat. Bahkan Ayah saja tidak dapat berbicara dengannya saat Ayah menemuinya. Beri Ibumu waktu sampai ia kembali beraktivitas seperti biasa,” jelasnya kepada Elara. Namun tampaknya Elara tidak puas dengan penjelasan yang telah diberikan oleh Ayahnya.

“Itu tidak menjawab pertanyaan saya, Ayah. Saya hanya ingin mengetahui di mana keberadaan Ibu.”

“Elara… Ibumu saat ini sedang berada di kamarnya. Namun ia tidak bisa ditemui- Elara Alexandria!”

Kalimat sang raja terpotong dan beralih menyerukan nama Elara lantaran Elara segera berlari menuju kamar Ibunya setelah mengetahui keberadaan sang ratu. Elara tidak peduli akan seruan Ayahnya dan terus berlari hingga akhirnya ia berhenti tepat di depan sebuah pintu yang besar di ujung lorong.

Perlahan Elara menaikkan tangannya dan mengetuk pintu tersebut sebanyak tiga kali. “Ibu? Apakah Ibu ada di dalam sana?” tanya Elara, tetapi tidak ada jawaban dari dalam sana.

Tidak ingin menunggu lama, Elara seketika mendorong pintu kamar tersebut dengan sekuat tenaga. Namun hasilnya nihil karena pintu kamar itu telah dikunci. “Ibu? Saya ingin bertemu dengan Ibu untuk memastikan apakah Ibu baik-baik saja. Saya sangat khawatir selama menunggu kepulangan Ibu. Tolong buka pintunya, Ibu,” ujar Elara dengan nada lirih.

Tetap tidak ada jawaban dari dalam kamar. Tubuh Elara pun perlahan terjatuh dengan telapak tangannya yang terus menyentuh permukaan pintu. Beberapa saat kemudian terdengar suara langkah kaki dari belakang Elara.

“Tuan putri!” seru seorang wanita dari belakangnya. Ia adalah pelayan setianya Elara. Segera ia berlari ke samping Elara dan menggenggam salah satu tangannya.

“Tuan putri, berdirilah. Anda tidak sepatutnya berada di depan pintu kamar yang mulia ratu dengan posisi seperti ini.”

Elara menghempas tangan dari pelayannya hingga terlepas dari tangannya. “Aku hanya ingin bertemu dengan Ibuku! Aku hanya ingin meminta maaf karena telah meninggalkannya sendirian di sana. Ibu tidak sepatutnya membebani dirinya sendiri seperti ini. Seharusnya aku juga merasakan hal yang sama seperti apa yang dirasakan Ibu. Ibu tidak seharusnya trauma seperti ini sendirian!” seru Elara sembari menangis sejadi-jadinya. “Seharusnya aku tidak menyetujui ajakan Ibu ke Luxembourg. Seharusnya aku tidak meninggalkannya di sana sendirian… Ini semua salahku,” lirih Elara.

“Tuan putri, kembalilah ke kamar Anda. Yang mulia ratu pasti akan kembali ke dirinya yang semula. Anda hanya perlu bersabar dan tidak menyalahkan diri Anda sendiri,” ucap pelayan itu berniat menenangkan Elara. “Ada surat untuk Anda dari Luxembourg di kamar Anda, tuan putri.”

Elara terdiam dan menatap lekat wajah pelayan di sampingnya. “Benarkah?” tanya Elara dan dijawab dengan anggukan olehnya.

***

Sesampainya di dalam kamar, Elara bergegas membuka surat yang berada di atas meja di samping kasurnya. Matanya dengan cepat membaca dengan teliti isi surat tersebut. Setelah selesai, Elara hanya bisa bergeming menatap secarik kertas yang berada di tangannya.

Tak lama kemudian Elara mendudukkan dirinya di tepi kasur sembari menahan air matanya yang ingin menetes. “Terima kasih, Marius.”

‘Tuan putri Elara Alexandria. Saya, Marius Dimitri sebagai ksatria pribadi setia milik yang mulia ratu Theresa Elysian, memutuskan untuk menggantikan yang mulia ratu dari pengasingan keluar dari Eropa. Kami telah berdiskusi secara empat mata di ruang bawah tanah di Grand Ducal Palace dan betapa terkejutnya saya saat mengetahui suatu fakta dari yang mulia mengenai hubungannya dengan Luxembourg. Saya pun turut merasa bersalah telah menilai yang mulia dan tuan putri sebagai pengkhianat Luxembourg, maka dari itu saya akan bertanggung jawab dengan semua ini. Mungkin ini tidak dapat menyembuhkan yang mulia dari traumanya akibat disandera oleh pihak Grand Ducal Palace. Namun setidaknya yang mulia tidak akan terpisah dari tuan putri kesayangannya. Dengan surat ini, saya memohon dengan sangat agar tuan putri tidak membenci Luxembourg karena kejadian ini dikarenakan saya mendengar dari yang mulia bahwa Luxembourg adalah kota kecintaannya selain Versailles.’

[ANTOLOGI] Rewrite The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang