#12. Twenty eight days By. Yohan Ernest Algadenandes

2 0 0
                                    

Tokyo city, Jepang.

Halaman demi halaman aku buka menggunakan jari jemariku, beberapa kali jari tersebut kujilat dengan bibir untuk memudahkanku membalikan carik - carik pada buku tebal dengan cover 'Runtuh' di sampulnya. Box - box buku milikku masih memenuhi sebuah kardus di sampingku, tepat pada spot kosong pada kursi kayu yang tengah aku duduki. Tetesan air mata mengalir dari pipiku, hal itu tidak akan terjadi.

"Hal itu tidak akan terjadi jika aku tidak memaksakan diri."

___________***___________

"Lepas!"

Siapa yang ingin di telantarkan? siapa yang ingin untuk dibuang? Aku tidak akan pernah menyalahkan kedua orang tuaku tentang ini, tentang pembayaran sekolah yang tak kunjung aku dapatkan dari tangan mereka. Aku! aku ingin di buang oleh keinginanku sendiri. Aku ingin pergi jauh dari rumah agar aku tidak menemukan kedua orang yang tidak pernah mengerti diriku, perasaanku, tentang cita - cita dan hobi yang ingin aku wujudkan.

"Yohan, mengertilah! ibu tidak ingin kamu putus sekolah, Nak! hanya saja ibu mohon untuk bersabar."

Pipiku memerah, sudah tiga kali aku berusaha untuk mendapatkannya. Mendapatkan uang yang harusnya sudah berada di tanganku! Uang yang sedang aku nanti - nanti kedatangannya.

"Han, Ayah tau! tidakkah kamu melihat kesengsaraan kita? mengapa kamu selalu minta? kenapa kamu tidak memanusiakan kami? kami juga manusia, Nak!"

Ayahku juga begitu, dia pasti selalu menimpali omongan ibu dan jika aku melawan, dia juga akan melawan omonganku. Bukankah setiap anak wajib mendapatkan uang dari kedua orang tuanya? Lagi pula uang itu kugunakan untuk membayar sekolah.

Aku tidak kuat tentang semua yang ada dirumah ini, panas! begitulah kenyataanya. Aku berlari menuju kamarku dengan meninggalkan kedua orang yang tidak pernah mengerti. Aku mengambil setiap lembar baju - baju milikku dan meletakkannya kedalam sebuah tas yang tidak layak dipakai lagi. Mataku menatap ke arah sebuah prangko di atas meja, prangko yang selalu kupuja setiap malam. prangko yang sangat aku sayangi, prangko dengan foto diriku dan sebuah piala yang aku dapatkan. Tangisku pecah, dengan cepat aku mengambilnya.

"Tidak ada lagi cerita, tentang yohan sang juara!"

Prangko yang tanpa debu sedikitpun itu kuletakkan kedalam sebuah kardus berisi barang barang yang tidak akan aku gunakan lagi, untuk apa? tidak ada gunanya menggunakan topeng sang juara lagi jika kamu tidak didukung. Itulah diriku!



"Where will you live? and with whom?"

Aku menelfon temanku, dia Miguel. Lelaki dari negara Filipina, aku tidak banyak mengerti tentang dirinya dan kami hanya mengenal melalui akun sosial media. Miguel orang yang baik dan dia tidak pernah mengecewakanku dalam memberi nasehat, sejujurnya hanya aku saja yang tidak pernah mendengar nasehat darinya.

"I don't know, Miguel. I don't know where to live." Jawabku dengan sedikit mengeluh. Mataku sembab dengan air mata, walau aku seorang lelaki.

"Go back to your home, in fact you will never be comfortable in any place other than where you came from."

Aku mematikan telfon Miguel sepihak. aku tidak ingin mendengarkan nasehat apapun sekarang, aku hanya ingin tempat tinggal. Tanpa pulang kerumah!

Tidak putus asa, aku tidak akan menyerah begitu saja. Tanganku bergerak untuk menelfon beberapa temanku, beberapa teman yang bisa membantuku dalam menemukan saran tempat tinggal walau untuk semalam saja.

"Pergilah kerumahku, namun kau harus membantuku bekerja di kebun." Ucap satu temanku, Yoza.

"Jika kau dirumahku, itu sangat tidak nyaman. Han, kamu tidak akan kuat dengan orang tuaku" Usul Haykel, temanku yang cukup arogan. Sudah pasti itu karena didikan orang tuanya yang keras.

[ANTOLOGI] Rewrite The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang