#10. 𝗥𝗲̂𝘃𝗲𝗿𝗶𝗲 By. Haze

3 0 0
                                    

Sayup-sayup kudengar suara mesin penghangat ruangan masih bekerja di siang hari yang cerah ini. Aku yang baru saja tersadar, dengan setengah nyawa mencoba menangkap bayangan wajah seseorang di hadapanku. Ada lebih dari tiga kali mataku mengerjap agar penglihatanku dapat kembali fokus setelah istirahat. Tak tahu berapa lama. Kurasa jam perkuliahan juga telah usai beberapa menit yang lalu. Catatan, aku tidak tidur saat kelas berlangsung, melainkan melarikan diri ke ruang kelas yang kosong untuk beristirahat sejenak setelah melakukan presentasi yang cukup menguras tenaga. Lagipula, weekend begini jarang sekali ada kelas, kecuali kelas tambahan yang sudah dirundingkan sebelumnya.

Dengan mata terpejam, sosok lelaki di hadapanku ini tersenyum. Senyum menyebalkan bak tokoh antagonis yang menyiratkan rencana jahat di baliknya. Tapi, menurut banyak orang, senyum si cowok yang sekarang mengenakan turtleneck hitam—yang dibalut trench coat berwarna senada—itu cukup bisa mencuri hampir seluruh perhatian khalayak ramai karena terbilang “berwibawa”.

“Selamat pagi.” Bibirnya yang melengkung membentuk senyum masih terpatri apik setelah mengucapkan sapaan singkat kepadaku. Entah kenapa nadanya itu cenderung mengejek.

Aku melengos, mengubah posisi kepalaku menghadap ke arah yang berlawanan darinya. Ku akui tampangnya memang oke. Bentuk wajah yang tegas khas orang barat, alis tebal, hidung tinggi, dan kulit cerah nan bersih; belum lagi jika matanya yang cantik itu terbuka. Cukup beruntung bisa menjadikan wajahnya itu jadi pemandangan yang pertama dilihat saat bangun tidur. Namun, mengingat wataknya yang tengil minta ampun, anggap saja pemikiranku barusan tidak pernah ada.

Dapat kudengar gerak tangannya kini menarik bangku di hadapanku. Ia mendudukkan tubuh tingginya di sana dengan kepala yang sengaja menunduk untuk melihat wajahku sekali lagi, masih dengan senyuman mencurigakan itu.

Aneh. Memang aneh. Sebenarnya capek juga kalau harus meladeni anak tengil satu ini setiap hari. Bertemu dengannya di setiap kelas saja sudah membuatku bosan, belum lagi cekcok tak bermutu yang sering ia picu sendiri. Terkadang ingin kusumpal mulutnya itu dengan sapu tangan kotak-kotak yang selalu ia bawa.

“Kenapa?” Tidak peduli jika nada bicaraku terdengar ogah-ogahan ketika merespon tindakan mencurigakannya itu, aku cuma ingin menikmati hawa hangat ruangan yang terasa nyaman di saat musim dingin menyelimuti Auckland seperti sekarang.

Ia masih tersenyum. Cowok berkacamata beserta talinya yang menjuntai sebagai hiasan—mirip seperti punya Professor Owen—di sisi kiri dan kanan wajahnya itu membuka mata. Bentuk matanya yang tajam dengan iris violet kini sedang menatapku tenang, sebelum ia membuka mulut, “ga apa.”

Terus? Aku bertanya-tanya dalam hati, tak mengerti maksud dan tujuannya merecokiku seperti sekarang ini. Dengan perlahan aku bangun dari posisi bungkuk dan kini bisa kurasakan rasa pegal tak karuan yang menyerang punggung bagian bawahku. Kalau aja cowok nyebelin ini tidak mengamatiku, mungkin aku sudah mengeluarkan erangan dan mengeluh sakit seperti manusia normal lainnya. Kenapa aku tidak melakukan hal itu? Oh, jelas ini akan menjadi bahan ledekan si mata empat. Aku sudah hafal dengan kelakuan tengilnya itu.

“Pegal, ya?”

Pertanyaan retoris itu tak kuindahkan. Aku lebih memilih untuk beranjak dari dudukku dan melangkah pergi meninggalkan kelas yang sudah sepi itu. Siapa sangka cowok tengil berambut ikal, hitam legam sebahu panjangnya, yang diikat rapi tadi juga ikut beranjak. Sekarang tangannya menahan pergelangan tanganku untuk menggapai gagang pintu.

Helaan napas yang sedari tadi kutahan pun lepas. Daripada menunggunya menjelaskan maksud dan tujuannya, mending aku saja yang bertanya karena terlanjur jengah, “kamu maunya apa? Sebutin.” Meski cara bicaraku terkesan ketus, reaksi yang dia berikan sering di luar dugaanku. Bukannya sebal, raut wajahnya malah meneduh, seakan habis mendengarkan lagu rohani. Atau sedari awal dia memang sengaja menungguku untuk menanyainya terlebih dahulu?

[ANTOLOGI] Rewrite The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang