"Aa? Kok bengong?"Yereah menghampiri kakaknya yang tengah duduk bersila dibibir kolam, nampak termenung dan tersesat dalam pikirannya. Yang dipanggil sempat tersentak, dia menoleh ke arah adiknya dengan senyuman yang amat lembut. Entah mengapa kakaknya nampak cerah hari ini dengan setelan kemeja biru muda, celana panjang putih bersih dan matanya terlihat berbinar, walau ia merasa seperti ada yang hilang. Apa ya?
"Sini dek, aa ingin bicara."
Tumben, pikir Yereah terheran. Apa ia baru saja berbuat suatu kesalahan? Apa ia mengganggu waktu kakaknya? Beberapa pertanyaan buruk berkelebat dibenaknya, tapi saat itu juga dibantah oleh kakaknya yang sudah hafal benar dengan jalan pikiran Yereah. Kekehan lolos dari sepasang bibir sehat itu, herannya juga terdengar begitu merdu di telinga. Kenapa kakak sepupunya hari ini nampak begitu indah?
"Ada apa a? Dedek buat salah?"
"Hahahaha bukaann, sama sekali tidak! Sini duduk dulu makanya hei."
Walau ragu tapi ia tetap menuruti perintahnya, melangkah menuju bibir kolam dan duduk bersila disampingnya. Ia memandang Femi, segan dan ragu tapi tidak ada sedikit pun rasa takut karena hanya rasa aman yang selalu ia rasakan ketika bersamanya, dia penuh kasih dan kelembutan hati. Kakak sepupunya ini seorang darah biru. Walau didikan keluarganya cukup keras tapi, mereka membesarkannya seperti arti namanya, penuh cinta dan kasih.
"Kamu tahu Gunung Sinai?"
"Hmm... Tidak, kenapa memangnya? Aa ingin mendaki? Mau pergi ke sana saat liburan sekolah nanti?"
"Kalau saja bisa semudah pertanyaanmu itu. Tidak, gunung itu ada di Mesir, mana sanggup aa ke sana?"
"Kalau gitu kita nabung atau pergi saat kita sukses nanti!"
"Aamiin. Tapi dengar dulu dong, aa belum selesai bicara."
Yereah membalas perkataan sang kakak dengan cengiran dan anggukannya, dengusan terdengar dari sisi Femi masih dengan senyum yang amat menenangkan hati, pembawaannya selalu tenang. Begitu indah dan sejuk dipandang mata. Setiap tindak dan sikapnya selalu bisa membuatnya diam dan terpesona. Tidak, ia tidak menyukai kakaknya seperti 'itu', Yereah hanya kagum dan mengidolakannya. Ia ingin jadi seperti dia.
Saat pembicaraan ini umur mereka masih sangat belia. Femi berumur 18 tahun, baru saja lulus sekolah menengah atas sementara Yereah masih 17 tahun, jarak umur mereka hanya berbeda setahun jadi lebih mudah dekat dan akrab. Terlepas dari sifat mereka yang sangat bertolak belakang dengan Femi yang lebih tenang dan dewasa, Yereah yang ceria dan sedikit usil, mereka sangat akur.
"Kalau aa tidak ada duluan- jangan dipòtóng." Ujar Femi dengan cepat menambahkan ketika Yereah hendak membuka suara. Terlihat kilatan tidak senang terpancar dari matanya.
"Umur tidak ada yang tahu 'kan? Kalau aa mėnìnggålkan dunia ini lebih dulu, jika tidak bisa dikubur di sana, aa ingin kamu taruh entah setangkai atau sebuket bunga forget-me-not di tanah Sinai."
Menahan perasaannya yang ingin marah, tapi sedih tetaplah yang menguasai hatinya. Ia harus berpikir tenang dengan kepala dingin, permintaan tetaplah permintaan. Seperti yang Femi katakan, umur tidak ada yang tahu, siapa tau nanti justru ia duluan yang pergi?
"Kenapa di Gunung Sinai? Kenapa tidak di Bromo, Krakatau atau Ciremai?"
"Kamu mau ke Ciremai?"
"Tidak sih, aku takut."
"Sinai juga harusnya kamu takut dong?"
"Iya juga ya? Ya sudah aku tidak mau juga."
"Hei!"
KAMU SEDANG MEMBACA
[ANTOLOGI] Rewrite The Past
Kısa Hikaye"Hari ini aku kembali ke tempat yang sama setelah sekian lama, tidak mudah bagiku untuk menginjakkan kakiku di sini..jantungku berdegup kencang, bukan karena kita akan kembali berjumpa, tapi aku harus mengingat lagi masa-masa di mana kita bersama du...