#8. VENI VIDI AMAVI By. 𝓁𝑜𝓁𝒾

5 0 0
                                    

"we came, we saw, we loved"

Membaca sebaris kalimat pada selembar kertas usang yang ditempel di sebuah gang basah di kota Venesia membuatku harus menarik nafas dua kali.

Lalu, itu membuatku harus tertarik untuk mengingat seseorang. "Untuk dirimu yang pernah gila bersamaku, apa kabar?"

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
⚘⚘⚘
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

Kami memiliki empat musim

Dan sekarang adalah awal musim dingin di bulan Desember, bulan tersibuk di penghujung tahun ini.

New York selalu sibuk, itu yang selalu orang-orang gaungkan. Namun New York memang harus seperti itu, identitas yang tidak boleh dilepas. New York hebat dan selalu seperti ini.

Maka saat ada kesempatan untuk sekedar kabur dari tumpukan kertas dan tinta, aku tidak akan menyia-nyiakannya.

Ketika mendengar kata Venesia masuk dalam daftar perjalanan bisnis ㅡ yang sebenarnya lebih mirip liburan akhir tahun yang terselubung ㅡ segala kenangan yang terkunci dalam ingatanku segera menyeruak. Hingga tanpa sadar aku telah mengajukan berkas tentang 'Mengapa aku harus ikut dalam perjalanan ini'.

Dan disinilah aku, diatas tanah Venesia yang basah dan kurindukan. Bersama tiga orang yang ikut dalam perjalanan ini.

Aku adalah seorang Korea, yang pernah tersesat di Venesia selama bertahun tahun, lalu berlari kabur ke New York setelah itu.

Hampir setengah hidupku kuhabiskan di negara ini. Jadi itulah mengapa ketika aku menginjakan kakiku dan menghirup udara basah kota Venesia, terasa seperti pulang ke kampung halaman.

Waktu kami tidak banyak, hanya empat hari sebelum kami harus kembali dan berkelut dengan kemacetan New York. Jadi kami berusaha memanfaatkan waktu dengan sebaik mungkin.

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤㅤ⚘⚘⚘

Pada hari pertama, kami menghabiskan waktu dengan bertemu orang-orang yang ada dalam daftar perjalanan bisnis ini. Karena kami sudah bertekad akan menyelesaikan ini dalam satu hari, maka hari itu kami terpaksa sampai di hotel pada larut malam. Akan tetapi semuanya terbayar, karena akhirnya kami memiliki tiga hari kosong yang bisa kami habiskan untuk bersenang-senang.

Pada hari kedua kami awali dengan sarapan di restauran hotel tempat kami menginap. Karena tidak ingin menghabiskan waktu dengan bingung memilih restauran mana atau menu apa yang akan kami makan. Kemudian perjalanan kami berlanjut ke San Marco Basilica dan berhasil masuk setelah mengantre selama setengah jam.

Selanjutnya kami ke Piazza San Marco, alun-alun paling terkenal di Venesia. Kami mengabadikan beberapa foto sebelum akhirnya melanjutkan ke Campanile.

Sayangnya kami tidak benar-benar masuk begitu sampai kesana karena antreannya yang panjang ㅡ kami tidak ingin menghabiskan banyak waktu hanya untuk mengantre ㅡ jadi kami memilih untuk melanjutkan perjalanan ke Rialto Brigde yang merupakan tempat yang populer untuk turis di Venesia. Dan karenanya kami terpaksa jalan dengan pelan akibat sesak dengan turis yang lewat atau sekedar berfoto.

Kami sempat berhenti untuk makan siang yang hampir terlewat, sekaligus untuk mengisi tenaga sebelum akhirnya melanjutkan dengan naik gondola. Ini serius, meskipun harganya mahal satu hal yang harus dilakukan di Venesia adalah naik gondola.

Setelah itu kami memutuskan untuk pulang ke hotel, beristirahat karena besok masih banyak hal yang harus kami coba.

Pada hari ketiga hujan deras mengguyur Venesia, yang mengakibatkan kami harus terjebak didalam hotel. Sasha ㅡ anggota termuda kami ㅡ mengomel karena kami hanya membuang waktu di hotel tanpa bisa kemana-mana. Tapi bagiku ini bukan bagian yang buruk, karena Venesia tetap indah meskipun hanya dinikmati dari kaca jendela hotel.

Di hari terakhir aku memutuskan untuk memisahkan diri. Aku beralasan ingin mengunjungi kampung halamanku. Mereka sempat bingung saat aku bilang akan pergi sendirian, namun kemudian mengerti niatku yang ingin melepas rindu di kota ini.

Kami sepakat untuk kembali di hotel sebelum jam dua belas malam, karena kami harus mempersiapkan diri untuk penerbangan besok pagi. Aku menyetujui nya.

Jadi sekarang disinilah aku, diantara gang-gang sempit kota Venesia. Berbekal ingatanku yang samar aku mulai melangkahkan kakiku. Atau sesekali membuka peta pada brosur yang dibagikan di hotel, sudah delapan tahun berlalu pasti banyak hal yang sudah berubah.

Banyak orang bilang saat paling pas untuk berkunjung ke Venesia adalah saat musim semi atau musim dingin. Karena saat musim panas Venesia akan sangat panas dan lebih banyak turis yang akan datang. Namun bagiku Venesia selalu sama, tetap basah. Dan ramai tentu saja.

Langkahku terhenti, begitu membaca sebaris kalimat pada selembar kertas usang yang ditempel di sebuah gang basah. Aku meremas pelan buah plum yang ku beli sebelum lewat sini.

"we came, we saw, we loved"

Sebaris kalimat yang berhasil membawaku pada ingatan masa lalu, kenapa aku bisa lupa ya?

●●●

Dulu aku pernah punya pacar. Sama sepertiku dia juga seorang Korea. Tidak ada hubungannya dengan ras. Tapi kami memang merasa saling cocok pada saat itu.

Sama seperti remaja lainnya, kami juga memiliki keteguhan pikir yang keras kalau sudah berbicara mengenai anggapan pagi dan sore.

Dan itulah yang menyebabkan kami pernah bersama sekaligus alasan terbesar kami harus berpisah.

Kami telah melakukan yang terbaik. Begitu pikirku.

Aku menganggap bahwa gilanya kami, gelak tawa yang terus menerus diperbincangkan, sampai kesedihan adalah hal yang perlu kami tuntaskan. Dan saat itu kami sama-sama menganggap bahwa pemikiran itu harus pada satu jalan yang sama.

Aku berpikir kami bersama karena kami baik baik saja.

Namun, dia berpikir kami bersama karena kami sama-sama berantakan.

Itu sungguh berada dalam dua hal yang berbeda. Sudut pandang yang tak boleh dianggap sama.

Lalu percakapan mengenai pagi dan sore tiba-tiba menjadi berantakan. Dan kami berpisah setelah itu.

Tidak berakhir. Hanya sama sama menghilang seperti asap yang tersapu angin.

Sambil setengah mengingatnya, aku tertawa kecil dan menggeleng. "Kami pernah seserius orang dewasa, dasar."

Saat mengenangnya dalam ingatanku, samar-samar terselip beberapa pertanyaan seperti, "Apa dia sudah menikah sekarang?" atau "Apa bahkan sudah memiliki anak?"

Lalu terselip lagi sebuah pertanyaan lucu, "Apa dia tetap genit seperti dulu? Dan jangan lupa betapa menyebalkannya saat dia berdebat."

Sudah delapan tahun berlalu, waktu yang lama. Tapi aku tidak ingin membayangkan dia memberikan sikap yang manis seperti yang dia lakukan padaku ke wanita lain. Satu sisi egois ku tidak ingin hal itu terjadi.

Kemudian aku menggeleng kecil, menepis setiap pertanyaan yang tiba-tiba saja menggunung begitu nama itu kembali terucap didalam pikiranku. Begitu aku mulai melangkahkan kakiku kembali sebuah suara berat masuk ke telingaku dan menyentuh bahuku.

"Mau kemana cantik?"

Aku berhenti. Kemudian mengingat nama dari seseorang yang sedang memanggilku.

"Sudah lama ya?" ucapnya. "Kau masih suka buah plum?"

Sekarang aku menyayangkan bahuku yang berbalik. Yang ternyata akan mengubah hidupku dalam sekejap.



END---

[ANTOLOGI] Rewrite The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang