Rintik hujan mulai membasahi bumi perlahan-lahan, berubah menjadi hujan lebat. Di salah satu kamar yang bernuansa cerah, seorang pemuda tampan sedang memandang pantulan dirinya di cermin. Beberapa hari tinggal di rumah orangtuanya, kegiatan Fano hanya sekolah, setelah itu pulang ke rumah. Fano memangku dagu, merasa bosan karena dilarang keluar rumah oleh kedua orangtuanya. Fano yang biasa hujan-hujanan untuk mencari uang demi mengganjal perut, kini tidak perlu melakukan itu lagi.
"Bosen di kamar terus," keluh Fano.
Fano mengulurkan tangan kanan ke jendela yang sengaja dibuka. Satu tetes hujan membasahi tangannya, membuat senyum lebar muncul di wajahnya. Fano naik ke jendela kamar, ingin bermain dengan air hujan.
"Dingin. Gua suka banget rasanya saat air hujan mengenai tangan gue," ucap Fano.
Setelah itu, Fano turun dari jendela kamar dengan sebuah ide yang muncul di benaknya. Ia mengunci pintu kamarnya, tidak ingin diganggu saat bersenang-senang.
Fano membuka hoodie yang dikenakannya, bersiap untuk bermain air hujan. Ia melompat keluar dari jendela kamar dan mulai berlarian kesana-kemari, bahkan bermain di genangan air.
Tanpa alas kaki, kedua kakinya penuh dengan lumpur, namun Fano tidak peduli sama sekali. Baginya, bersenang-senang jauh lebih penting.
"Ayo dong, lebih deras!" pekik Fano.
Fano melompat-lompat seperti anak kecil. Namun, sayangnya kesenangannya harus berakhir ketika seseorang menarik telinga kanannya.
Beberapa menit sebelumnya, Stevan sedang mengecek keadaan Fano untuk memastikan anaknya tetap berada di kamar. Stevan tahu betul bahwa Fano tidak bisa diam di kamar, sering kali berkeliling rumah tanpa tujuan jelas, atau membantu para maid mengerjakan tugas mereka.
"Semoga si bontot gak buat ulah lagi," ucap Stevan sambil melangkah menuju kamar Fano.
Sesampainya di depan pintu kamar, Stevan mencoba memutar kenop pintu, namun ternyata terkunci. Ia pun beralih ke ruangan CCTV untuk memeriksa keberadaan Fano di dalam kamar.
Stevan memijit keningnya ketika melihat rekaman CCTV, di mana terlihat Fano melompat keluar dari kamar untuk bermain hujan-hujanan.
"Dulu, sebenarnya aku dosa apa sih sampai punya anak yang seperti ini? Semua kayak jiplakan aku," keluh Stevan.
"Yah, anggap saja itu karma dari perbuatan nakalmu dulu, sayang," jawab Lusiana yang baru saja datang.
"Tapi aku sudah tobat, sayang," balas Stevan.
"Aku mengerti. Tapi lihat kondisi si bontot sana. Nanti dia bisa sakit kalau kelamaan bermain hujan-hujanan," ucap Lusiana dengan khawatir.
"Oh iya, lupa!" pekik Stevan, teringat akan hal itu.
Flashback off
Stevan menjewer telinga Fano akibat kesal akan ulah nakal Fano lihat saja penampilan Fano seperti habis mandi lumpur saja. Dari atas sampai bawah penuh lumpur bahkan Fano hanya menggunakan celana pendek, tidak menggunakan alas kaki, dan lebih parahnya bertelanjang dada.
"Sakit bodoh!" kesal Fano.
"Adek mengatai ayahmu sendiri bodoh?" tanya Stevan datar.
"Eh?!" kaget Fano.
"Ayo cepat masuk nanti kau sakit demam!" ajak Stevan.
"Lepaskan jeweran di telingaku dong, pah," mohon Fano.
"Tidak akan!" tegas Stevan.
"Hiks," tangis Fano.
"Adek!" kaget Stevan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Stefano Mahardika (END)
Genel KurguStefano Mahardika, atau yang akrab disapa Fano, adalah remaja tengil yang gemar bolos sekolah dan menjalani hidup keras di jalanan. Hidup sebatang kara, ia bertahan dengan mengamen dari pagi hingga malam demi sesuap nasi dan sekedar bertahan hidup. ...