Bismillahirrahmanirahim.
***
"Assalamu'alaikum, Rum pulang!"
Kedua kaki Ning Rum diam tercekat. Terkejut dengan dengan seisi rumah yang telah menunggunya dengan tatapan serius.
"Pulang dengan siapa Rum?" Nyai Hafsah, Umma ning Rum yang memulai pembicaraan. Nada bicaranya lembut tapi tegas. Ning Rum menundukkan kepalanya. Introgasi seperti ini kerap kali ia alami. Namun, keadaan tak sampai setegang seperti saat ini.
"Tadi motor Rum pecah bannya, Ummah. Rum diantar pulang teman!"
"Teman atau Bule jawa yang selebgram itu Rum?" sergah Abuya dengan suara yang meninggi.
Ning Rum mendongakkan kepalanya, menatap Abuya dan Ummah secara bergantian. Kemudia menunduk kembali. "Namanya Mas Rafif Buya, kami tidak berdua saja kok. Ada 2 perempuan lagi diantara kami." Rum menjelaskan dengan sebenar-benarnya.
"Kalau motor kamu bermasalah, kamu bisa telpon rumah Rum. Memberi kabar, biar nanti Salman atau Adam yang menjemput. Kalau tidak begitu juga ada Cak supir dan Mbak ndalem yang jemput kamu!"
Rum diam tertunduk.
"Kamu tau Rum, ini sudah jam berapa?" Nyai Hafsah bertanya lagi. Nadanya sangat lembut. Beliau tidak pernah sekalipun membentak putra-putrinya.
"9 Malam Ummah."
"Astaghfirullah, Arumi! Orang-orang banyak yang membicarakan kamu Nak, mbok ya di jaga marwahmu sebagai perempuan."
"Ngapunten Buya, Rum tidak melakukan sesuatu apapun yang merugikan. Rum Juga tidak bermaksiat. Marwah juga Rum jaga. Rum masih sadar batasan Buya. Tadi di kampus kami sedang ada rapat pleno anggota Dema."
Kyai Ja'far dan Nyai Hafsah saling beradu pandang.
"Tapi kehidupanmu di luar sana sangat bebas Rum. Siapa yang berani menjaminmu tidak akan terjerat kedalam dunia liberal mereka? Buya dan Ummah bukannya posesif Rum, bukan pula mengekang. Ini semua demi kebaikanmu, Nak!"
"Lantas Rum harus berbuat apa Ummah? Berdiam dan mengunci diri di dalam kamar? Atau menjadi manusia kolot yang tidak tau apa-apa?"
"Rum!" Suara Kyai Ja'far meninggi satu oktaf.
"Rum sudah besar Buya. Rum punya pandangan hidup sendiri. Punya keinginan hidup sendiri."
"Orang-orang desa banyak yang membicarakanmu Rum! Banyak pula wali santi yang matur tentang kamu yang tidak sengaja menjumpaimu diluar sana. Mau kamu taruh dimana lagi wajah Buya Rum? Jangan kamu coreng juga nama pesantren yang sudah dibangun dengan tirakat tinggi oleh kakekmu."
Rum tertunduk rapat.
"Apa maumu Rum?"
Nyai Hafsah menyentuh lembut pundak sang suami, menenangkan. Khawatir keluar kata0kata kasar yang mungkin menyakiti hati Ning Rum.
"Mereka semua tidak tau tentang Rum, Buya. Mereka hanya berprasangka. Main menuduh saja"
"Rum!" Suara Kyai Ja'far meninggi lagi.
"Besok buya nikahkan saja kamu!"
Kedua bola mata Ning Rum membelalak.
***
Halo Sayang-sayang Akuuuuuuuuuuuu.
Seperti yang pernah kuinfokan beberapa waktu lalu, mulai tanggal 1 September insyaAllah cerita Ning Rum dan Gus Sena akan kembali hadir dengan nuansa lebih indah lagi.
Bagi yang baca belum sampai bab paling akhir tapi udah keburu kuhapus, maafkan akuu ya, stay tune aja ehe.
Semoga kalian tidak berpaling huhu,
Plisssss banget sayang, vote dan koment kalian sangat berarti untuukkuuuuuuuuu.
Jangan lupa masukkan daftar pustaka, biar ga ketinggalan kelanjutannya hihi.
Salam sayang,
Yukmuss_
KAMU SEDANG MEMBACA
Terpikat Pesona Ning Rum
SpiritualIni kisah tentang Ning Rum, seorang putri kiai pondok pesantren besar namun berkepribadian milenial dan bersosialisasi bebas. Kuliah di universitas umum swasta, berteman dengan ragam manusia dari berbagai kalangan, sekaligus menjadi salah seorang a...