Cluster 16

2.1K 147 0
                                    

Bismillahirrahmanirrahim,,


***

"Ning Rum, mau saya bantu?" tawarku saat melihatnya kesulitan melepas jarum pentul yang menghias di hijabnya. Ning Rum menoleh sekilas.

"Tidak perlu." semburnya dingin. Kemudian kembali fokus lagi.

"Baiklah." sahutku menanggapi ucapannya. Jika mengingat cerita-cerita konyol Ning Rum semasa kecil, membuatku tersenyum tipis. Ternyata, dibalik langkah kecilnya yang cekatan, suaranya yang menggelegar, tingkahnya yang biyayakan, Ning Rum pernah melalui fase diambang hidup dan mati. Betapa ajaibnya dia bertahan hingga kini.

Aku membuka koper yang kubawa dari Kediri. Kemudian mengeluarkan handuk dan satu stel baju ganti. Tanpa sengaja, kulirik deretan buku Jalaluddin Rumi yang tertata rapi di Rak Buku Ning Rum. Paket lengkap. Mulai dari Fihi Ma Fihi, Semesta Matsnawi, Samudra Rubaiyyat, Diwan Syams At-Tirmidzi, Lorong sunyi, Majmu'ah min ar-Rasail, dll. Bisa kutarik kesimpulan bahwa Ning Rum merupakan pecinta syair-syair indah Rumi. Baiklah, akhirnya telah kutemukan satu persamaan diantara kami.

"Ning Rum, dalam cahayamu, aku belajar mencintai. Dalam keindahanmu, aku mencipta puisi. Kau menari dalam dadaku, tempat tak seorangpun tahu. Namun, kadang aku melihatmu dan pemandangan itu menjelma sajak bagiku." bisikku dalam hati. Suatu hari nanti, saat kita telah saling mencintai, saat jiwa kita telah melebur, dan saat ektase kerinduan telah membara diantara kita. Ingin ku melempar syair mahabbah Jalaluddin Rumi kepadanya, dan ia akan membalas dengan syair serupa.

"Ning Rum suka syair-syair Maulana Jalaluddin Rumi?" tanyaku memecah kesunyian. Jawabannya tentu saja iya, tak perlu dipertanyakan lagi.

Ning Rum menoleh sekilas, "Kenapa?"

"Tidak apa-apa, saya hanya bertanya saja. Oh iya Ning, bolehkan jika saya mandi terlebih dahulu?"

Ning Rum menoleh lagi. "Ya udah silahkan."

"Baiklah. Terimakasih."

Aku beranjak ke kamar mandi. Di dalam sana, aku tertawa geli melihat dinding kamar mandi Ning Rum yang dipenuhi dengan beraneka ragam bentuk dan ekpresi dari karakter kartun sinchan yang memang memiliki komuk lucu dan menggemaskan. Tertawa, menangis, cemberut, tersenyum, manja, marah, kesal, dan ceria. Jika dikait-kaitkan, kepribadian Ning Rum dan Sinchan memang tidak jauh beda. Sama-sama random dan absurd.

Aku teringat sesuatu, dahulu, sewaktu Ning Rum masih kanak-kanak, ia pernah naik pohon jambu di perkampungan warga bersama teman-temannya. Karena asyik bergurau dan tidak hati-hati Ning Rum terjerembab hingga jatuh. Berita jatuhnya Ning Rum cukup menggegerkan warga pesantren. Pohon jambu yang lumayan tinggi itu membuat kaki Ning Rum keseleo dan tak dapat berjalan selama lebih dari seminggu. Sayangnya, selepas tragedi jatuhnya dari pohon jambu bukan membuat Ning Rum jera atau kapok, Ning Rum semakin menjadi-jadi.

Kurang lebih aku memakan waktu 20 menit untuk berendam, menghilangkan jenuh beserta lelah. Mengharap semua keburukan luruh bersama air yang mengalir. Kubuka knop pintu perlahan. Namun, aku terkejut mendapati suhu ruangan berubah menjadi sangat dingin. Dingin yang begitu mencekam. Dingin yang begitu menelisik kulit hingga ke tulang-tulang.

"Rum nggak suka panas." Sahut Ning Rum. Aku menoleh kearahnya yang sedang melakukan pembersihan wajah menggunakan micellar water sepertinya.

Aku tersenyum menanggapinya, "Tidak apa, Ning!"

"Oh iya Ning, maaf, karena saya belum menyiapkan apa-apa, jadinya tadi saya minta sabun cair, pasta gigi, shampo jenengan, mohon dihalalkan nggeh?"

"Hm."

Terpikat Pesona Ning RumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang