Cluster 40

1.7K 116 4
                                    

Bismillahirrahmaanirrahiim,,

Seperti biasa gais, NO Cut No Edit hehe.

***

"Hmtalah aura kemanten anyar memang selalu segar nggeh Bah?" sahut Ibu kepada Buya tatkala tanpa disengaja aku dan Gus Sena bergabung dengan mereka untuk sarapan bersama. Aku menoleh ke arah Gus Sena, pun sebaliknya.

"Loh, ya jelas to Bu. Kayak ibu ga pernah merasakan jadi penganten anyaran saja."

Aku mengikuti langkah Gus sena, kemudian duduk bersisian.

"Sami mawon kok Bu, segar seperti hari biasanya." Jawab Gus Sena. Aku mengangguk setuju. Tanpa harus menunggu menjadi seorang istri, setiap pagi aku juga selalu terlihat segar sebab selalu mandi.

"Semalem Cacak-cacak dan Mbak-mbak banyak yang tanglet sama Ibu, katanya, mereka mendengar suara teriakan. Tapi tidak tau berasal dari mana? Apakah kalian berdua juga mendengar?" tanya Ibu lagi. Aku dan Gus Sena saling pandang.

"Kalau Rum tidak mendengar Bu, mungkin Gus Sena yang mendengar hehe."

Gus Sena mendelik tajam.

"Bagaimana Sen? Dengar tidak?"

Gus Sena terdiam, berpikir keras. Raut wajahnya tampak kesal, membuatku tertawa dalam hati.

"Astaghfirullah Ning Rum, semalem yang teriak jenengan loh, lupa nggeh?" Gus Sena balik bertanya kearahku, tangannya sambil mengelus ujung jilbabku. Membuatku tersentak kaget sekaligus malu.

Ibu, Abah, dan beberapa mbak santri yang sedang bersliweran yang tak sengaja mendengar ikut tertawa tipis.

"Sudah-sudah, mari kita langsung sarapan saja, jangan dianggurin terlalu lama." Abah menengahi. Menyudahi obrolan yang terasa ambigu untuk didengar santri yang notabenya masih remaja.

Aku menyaksikan bagaimana Ibu melayani Abah. Mulai dari menyiapkan piring, menyendokkan nasi lengkap dengan lauk-lauknya.

Kaki Gus Sena menyenggol, kakiku. Aku menoleh sedikit kesal.

"Lakukan sebagaimana yang dilakukan ibu, Ning! Tolong!" Bisik Gus Sena. Aku yang tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Gus Sena hanya mengerutkan kening heran.

"Apa Gus?" tanyaku. Gus Sena mendekat beberapa inci lagi.

"Lakukan sebagaimana yang dilakukan ibu, Ning! Tolong!" sahutnya lagi. Aku yang entah mengapa tiba-tiba berubah menjadi sedikit telmi alias telat mikir.

"Apa si Gus?" tanyaku lagi.

Gus Sena mendekat lagi, kali ini berbisik langsung ke telinga kiriku. "Sayang, tolong lakukan sebagaimana yang dilakukan ibu kepada Buya. Ampun paham boten?" Gus Sena kembali ke posisi duduknya.

Aku yang untuk pertama kali dipanggil sayang olehnya entah mengapa terasa melayang.

Aku mengangguk perlahan. Mungkin maksud Gus Sena adalah bersandiwara di depan Ibu dan Abah.

"Gus, piringnya Rum ambil ya, mau nasinya berapa centong?" tanyaku dengan suara yang kubuat selembut mungkin.

"Terserah jenengan mawon Ning Rum."

"Baiklahh kalau begitu." Aku mengambil 5 centong full nasi di piring Gus Sena.

"Lauknya juga terserah Rum kan Gus?" Gus Sena yang tengah terkejut dengan porsi nasi yang menggunung tak merespon pertanyaanku.

Baiklah, kuanggap jawabannya adalah iya.

Aku menambahkan 2 ayam goreng, 2 tempe, 2 tahu, 1 terong, sayur kangkung, sayur lodeh, beserta 3 macam sambel ke piring Gus Sena.

Terpikat Pesona Ning RumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang