Bismillahirrahmaanirahiim,,
Seperti biasa gaes, No Cut No Edit hehe.
Ditegor loh gapapa banget huaaaa
***
"Ning, kita mampir dulu ke ndalem Kiai Zubadar boten tidak apa, kan? Aada titipan dari Ibu yang perlu saya sampaikan." ucap Gus Sena tatkala mobil yang kami kendarai telah keluar dari desa Waringin.
Aku yang tengah menikmati hamparan sawah yang berhektar-hektar dan pohon-pohon kelapa yang melambai menoleh ke arah Gus Sena, "Kiai Zubadar? Sepertinya Rum pernah mendengar tentang beliau, sinten Gus?"
"Beliau ayahanda Ning Anin."
Aku tersentak, "Jadi, kita akan mampir ke ndalem Ning Anin?"
Gus Sena mengangguk.
"Dari sekian banyak kerabat, kenapa mampirnya harus ke tempat Ning Anin sih?" gerutuku dalam hati, kesal sekali. Mengingat Ning Anin dan perangainya yang akuh, membuat mood-ku rusak seketika.
"Di mana?" Nada suaraku tampak bergetar, mungkin Gus Sena merasakannya.
"Apanya Ning?"
"Tempat tinggal Ning Anin itu."
"Oh, di perbatasan Tuban-Lamongan, Ning."
"Jauh banget Gus, melawan arah loh!"
"Ya mau bagaimana lagi Ning, ada amanah yang harus disampaikan."
"Ada amanah yang harus disampaikan atau ada keinginan berjumpa Ning Anin?" gerutuku lagi.
"Nanti kita sampai Malangnya bisa malem loh Gus,"
"Tidak apa Ning, kita bermalam di Surabaya saja!" aku mendelik mendengar jawaban Gus Sena.
"Kenapa nggak sekalian bermalam di Banyuwangi? Itung-itung jelajah jawa timur."
Gus Sena tersenyum simpul.
"Inginnya juga begitu Ning, kapan-kapan saja mungkin."
Aku buang muka, setengah kesal.
"Nanti Rum tunggu di mobil saja."
"Lah, kenapa Ning?"
"Nggak kenapa-kenapa. Harus ada alasan?"
"Kiai Zubadar beserta garwonya berpesan kepada Ibu untuk mengenalkan Ning Rum kepada mereka, sebab, saat unduh mantu kemarin, mereka berhalangan hadir, Ning."
"Pasti untuk dibanding-bandingkan."
Kening Gus Sena mengerut. "Dibanding-bandingkan bagaimana Ning?"
"Ya pastinya buat membandingkan antara Rum dengan Ning Anin."
"Astaghfirullah Ning, jangan berprasangka buruk."
"Bukannya berperasangka buruk Gus, feeling Rum sudah mengatakan begitu."
Gus Sena menoleh kearahku sekilas, kemudian kembali fokus ke jalanan yag berbatu.
"Apa yang perlu dibandingkan Ning?"
"Ya secara ya Gus ya, Ning Anin sempat digadang-gadang untuk menikah dengan Gus Sena bukan? Lah, endingnya yang menikah dengan Gus Sena siapa? Rum loh. Jadi ya, pasti dari pihak mereka membandingkan antara Rum dengan Ning Anin. Rum sadar kok, Ning Anin memang lebih segalanya ya kan? Tapi loh, pernikahan ini juga terjadi bukan atas keinginan Rum."
Gus Sena menggeleng.
"Menurut saya, Ning Anin memang lebih unggul dari berbagai aspeknya."
"Tuh kan!" Aku memotong pembicaraan Gus Sena.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terpikat Pesona Ning Rum
EspiritualIni kisah tentang Ning Rum, seorang putri kiai pondok pesantren besar namun berkepribadian milenial dan bersosialisasi bebas. Kuliah di universitas umum swasta, berteman dengan ragam manusia dari berbagai kalangan, sekaligus menjadi salah seorang a...