Cluster 8

2.4K 154 0
                                    

Bismillahirrahmanirrahim,

**

(POV Gus Sena)

Awal kali menginjakkan kaki di Pesantren Darur Rohmah usiaku barumenginjak 15 tahun. Saat itu, Darur Rohmah masih belum berkembang pesat sepertisaat ini. Bangunannya belum bertingkat dan meluas. Jumlah santrinya juga masihkisaran antara 800-900 saja. Unit pendidikan formalnya masih terdiri dariMadrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliya. Tidak sepertisekarang yang sudah dilengkapi dengan Sekolah Menengah Kejuruan dengan berbagaimacam jurusan di dalamnya.

7 Tahun menimba ilmu disana mengajarkanku banyak makna kehidupan.Sosok Abuya Ja'far yang sangat tegas, disiplin, dan penyayang membuatku sangattaKzim dan kagum terhadap beliau. Meskipun tegas dan disiplin terhadap parasantri, sekalipun beliau tidak pernah duko (marah) yangsampai memakai kekerasan, seberat apapun pelanggaran yang dilakukan santri.

Pernah suatu ketika, terjadi perkelahian hebat antara 2 santri yangsaling adu jotos hingga melebam keduanya yang disebabkan oleh suatukesalahpahaman. Dengan penuh ketenangan, Buya menghukum keduanya agar salingmemijat punggung secara bergantian. Hukumannya selalu begitu, bukan di gundulmaupun disiram air comberan.

Buya Ja'far memiliki 4 orang Putra. Mereka adalah Gus Salman yangsekarang telah beristri, Gus Adam yang sedang kuliah di Luar Negeri, Ning Rum,dan yang paling bungsu adalah Gus FaisaL. Diantaranya, hanya Ning Rum sajalahyang tidak pernah nyantri.

Awal kali aku datang ke pesantren, Ning Arumi masih berusia kisaran8 atau 9 tahunan. Ning Rum kecil sikapnya begitu tengil dan begidakan.Setiap hari sukanya mengejar kucing yang berlarian di area pesantren putra.Bahkan, sering juga mengejar kucing yang masuk kedalam kamar santri. Tanpa rasamalu, Ning Rum kecil mengobrak-abrik isi kamar santri putra mencari keberadaankucing yang bersembunyi.

Meskipun memiliki sekolah sendiri, sekalipun Ning Rum tidak pernahbersekolah formal di sekolah yang dikembangkan Abuya. Ning Rum lebih sukabersekolah umum di luar pesantren. Mulai dari Tk sampai Sekolah dasar pada saatitu. Letak sekolahnyapun lumayan jauh dari pesantren. Butuh waktu hampir 20menit untuk sampai disana. Alasan Ning Rum tidak mau sekolah di pesantrennyasendiri tentu saja agar ia bisa bebas bermain tanpa pengawasan, bebasbertingkah sesuka hatinya, dan bebas berekspresi tanpa disangkut-pautkan denganstatus ke-Ning-ngannya. Setiap hari Ning Rum berangkat sekolah bersama MbakErni mengendarai sepeda motor pesantren. Jika berhalangan, sesekali Cak Sinulyang menjemput atau mengantar Ning Rum kecil, namun menggunakan mobil yangdisertai dengan 2 mbak-mbak santri putri. Sebab, jika hanya berdua saja denganCak Sinul, Ummah boten kerso meskipun Ning Rum belum baligh.

"Rum! Jangan kebanyakan tingkah ya di sekolah!" Ummah memberi pesan ketika Ning Rum hendak berangkat bersama CakSinul dan dua mbak santri ndalem, Mbak Ninid dan Mbak Zizah. Aku yang saat itusedang menyapu halaman spontanitas menghentikan aksi lalu berdiri menunduk.Perilaku khas santri ketika ada keluarga ndalem.

"Nggeh Ummah, insyaAllah hehe!" Ning Rum mencium telapakUmmah wolak-walik.

"Jangan suka jajan sembarangan, kalau sakit perut lagi nangiskamu nanti!"

"Jajan yang Rum beli tidak sembarangan kok Ummah. Ada penjualnya."

Ummah geleng-geleng mendengar jawaban Ning Rum.

"Kita harus adil 'kan Ummah? Jadi Rum nggak suka pilah-pilihkalau mau beli jajan, semuanya Rum beli, agar mereka tidak iri. Kalau diantara penjual saling iri-irian nanti jadinya berantem, Ummah. Terus kasihan jugamereka."

Ummah mengelus jilbab rabbani putih yang dikenakan Ning Rum.

"Anak Ummah pintar sekali kalau disuruh ngelles."

Terpikat Pesona Ning RumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang