Cluster 20

2.3K 147 4
                                    

Bismillahirrahmaanirrahiim,,


Haloo sayangkuuhhh, bisa yuk tinggalkan vote dan komentar  dulu huhu

***

Lagu under the influence yang dipopulerkan Chris Brown, penyanyi asal Amerika Serikat menggema cukup nyaring di kamarku. Ibarat sebuah soundtrack yang mewarnai kesibukanku membaca sebuah buku karangan Sony Adams yang berjudul "Berdamai dengan takdir_ Seni meredam setres, merawat batin, dan memahami kehidupan agar lebih bahagia." Buku itu milik Sarah, yang kudapati secara tidak sengaja di lemari kayu kosannya.

Seakan mendapat angin segar gurun sahara, aku meraih buku milik Sarah tersebut dengan hati bahagia. Entah mengapa, rasanya seperti semua gundah gulana yang kualami belakangan ini akan menemukan titik terang di dalamnya. Dengan jaminan seporsi mie gacoan lengkap dengan dimsum, aku meminjam buku bersampul dasar warna putih itu dari Sarah.

Ditemani secangkir cokelat panas, aku duduk santai sambil selonjoran di shofa kamar. Jam dinding masih menunjukkan pukul 20.30. Masih banyak waktu luang sebelum jam tidur yang biasa kuterapkan.

Sedikit tertampar, aku membaca buku milik Sarah dengan gejolak kembang kempis tak karuan. Baru saja menyelami halaman 3, aku sudah dibuat ketar-ketir dengan sebuah kalimat "Takdir merupakan sebuah ketetapan yang sudah digariskan kepada masing-masing kita. Karena sudah merupakan sebuah ketetapan atau skenario yang memang sudah didesain, kita tidak bisa memilih takdir. Memperjuangkan takdir memang sangat memungkinkan, namun, jika mengubah sesuai kemauan akan menyebabnya jalan cerita menjadi beda."

Aku menelan saliva berat. Seberat takdir yang kuemban.

Suara santri melalar nadzam Alfiyah samar-samar terdengar di telinga. Aku perlahan mengecilkan volume musik R&B dari ponsel. Merasa kurang enak hati.

Suara salam kemudian ketukan pintu membuyarkan konsentrasiku, aku melirik sekilas. Gus Sena baru datang dari masjid pesantren putra. Mungkin beliau usai mengajar kitab salaf di sana.

Aku kembali fokus membaca buku.

"Tadi Ustadzah Zidna membuatkan cokelat panas." ujarku sembari menunjuk sebuah cangkir yang bertengger di meja kamar menggunakan isyarat lirikan mata, Gus Sena yang sedang menyampirkan sorbannya menoleh.

"Nggeh Ning, terima kasih."

"Loh, bilang terimakasihnya kepada Ustadzah Zidna, bukan Rum yang buat."

Gus Sena tampak tersenyum sepintas. "Yasudah, saya titip salam untuk Ustadzah Zidna melalui Ning Rum saja kalau begitu."

"Loh ya gaboleh. Rum bukan pak pos tempat penitipan salam."

Gus Sena tersenyum lagi. Senyum yang tampak aneh.

"Selain suka membaca syair-syair Rumi, Ning Rum juga suka membaca buku motivasi ya?" Gus Sena yang tiba-tiba duduk di shofa sama denganku. Membuatku spontanitas menarik kaki yang awalnya slonjoran menjauh dari arahnya.

"Kenapa memangnya? Salah ya?"

Gus Sena tertawa tipis.

"Ning Rum dari kecil tidak pernah salah kok!"

Aku melotot mendengar penuturannya, sedikit tersinggung.

"Rum! Kamu sudah tau bukan? Hukum berkhalwat dengan laki-laki lain adalah haram!" kala itu Buya memarahiku setelah ketahuan boncengan motor dengan salah satu teman di SMA.

"Rum tau Buya,"

"Terus? Mengapa kamu masih melanggar! Ingat Rum, kamu sudah remaja, sudah akil baligh, bukan anak kecil lagi! Hal-hal seperti itu sudah wajib kau perhatikan Rum!"

Terpikat Pesona Ning RumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang