Cluster 31

1.7K 119 2
                                    

Bismillahirrahmaanirrahim,,


Maaf ya kemaren absen huhu.

Seperti biasa, No Cut No Edit, jadi ya tolong dimaklumi hehe, sesekali bantu di komentari juga gapapa bgt wkkwk!

***

"Wah, pemandangannya indah sekali Gus!" seru Ning Rum takjub menyaksikan pemandangan gunung dan sawah ratusan hektar dalam perjalanan menuju rumahku.

"Warga masyarakat disini sangat kompak Ning, mereka saling bahu-membahu membangun dan menjadikannya sebuah desa yang asri dan indah permai.

Ning Rum manggut-manggut. Ia membuka lebar jendela mobil. Kemudian kepalanya menyembur keluar, menghirup dalam-dalam udara alami khas pedesaan.

Ning Rum tampak sangat bahagia.

"Bapak, monggo!" seru Ning Rum menyapa bapak-bapak tua yang tengah memikul rumput untuk makanan kambing.

"Desa yang masih asri seperti ini termasuk salah satu surga dunia loh, Gus. Gunungnya menjulang tinggi, sawahnya menghijau, paritnya mengalir cukup jernih, antar warga saling menyapa satu sama lain. Bapak-bapak memikul rumput, ibu-ibu membuntuti suami mereka dari belakang seraya membawa rantang berisi makan siang, anak-anak SD saling bekerjaran sepulang sekolah. Ini tuh seperti berada di alam mimpi Gus, atau seperti berada di dalam buku pejaran bahasa indonesia anak SD kelas 1 tentang lingkungan hidup." Ning Rum berkata tanpa mengalihkan pandangan takjubnya dari pemandangan yang kami lintasi.

"Mayoritas mata pencaharian warga masyarakat desa ini adalah petani dan peternak. Entah itu petani padi, sayur, maupun tebu. Sedangkan peternak kebanyakan dari memelihara kambing, sapi, kerbau, dan ayam." Aku menjelaskan kepada Ning Rum sepahamku saja, sebab, sejak berusia 10 tahun hingga sekarang belum pernah sekalipun aku tinggal di rumah dalam jangka waktu tak lebih dari dua pekan.

"Tapi Rum kok jarang melihat anak muda ya Gus?"

"Sebagian para pemuda disini menimba ilmu dan tinggal di pesantren. Sebagian besar langsung di pesantren rumah, sebagin lagi tersebar di berbagai macam pondok pesantren di pulau jawa."

"Oh pantes saja desa ini tampak adem ayem gus, sebab, sebagin besar orang tua tengah mencari nafkah unntuk putra-putri mereka yang tengah tholabul ilmi."

Aku dan Ning Rum mengobrol tentang banyak hal. Jarak ke rumah kurang lebih membutuhkan waktu 10 menit lagi. Ditengah-tengah aku bercerita tentang asal-muasal danau yang cukup terkenal di desa, Ning Rum tertidur nyenyak.

***

"Ya Allah, ternyata kening Ning Rum sekarang menjadi memar dan membiru." Sahutku ketika kami tengah sampai di ndalem, malam itu.

Ning Rum melepas hijab voalnya, kemudian menelisik keningnya secara tajam di cermin.

"Ehh iya ternyata Gus! Duh, malu banget, takut dikira ahli sujud wkwk!"

Aku tersenyum mendengar penuturannya.

"Ning Rum punya minyak kapak?"

Ning Rum menggeleng.

"Kalau minyak tawon?"

Ning Rum menggeleng lagi. "Oh, tapi Rum pernah lihat Ummah memakai minyak tawon. Memangnya buat apa Gus?" tanya Ning Rum, wajah penasarannya terlihat sangat menggemaskan.

"Buat meredam memar Ning, biar sakit dan warnanya hilangnya tidak lama."

"Oke, Rum coba minta kepada Ummah deh, soalnya ga lucu juga jika nanti waktu Rum di ndalem Gus Sena orang-orang pada berpikiran bahwa Rum ahli ibadah, takut dikata Riya' hehe." Ning Rum kembali keluar kamar tanpa menunggu tanggapanku.

Terpikat Pesona Ning RumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang