Cluster 47

1.6K 114 5
                                    

Bismillahirrahmaanirrahiim,,



Seperti biasa Gaiis, No Cut No Edit hehe


***

Kediaman Ustadzah Zidna berada di Kabupaten Malang bagian selatan. Separuh jalanannya memang beraspal, namun separuhnya lagi merupakan batu krikir yang terjal, sehingga memakan waktu lebih lama dara jarak yang seharusnya. Selain medannya yang berat, arahnya juga berkelok-kelok, belok sedikit turunan, belok sedikit tanjakan. Begitu terus sampai akhirnya mobil yang dikendarai Buya, Ummah, Gus Sena, aku, dan dua mbak santri ndalem sampai juga di sebuah kaki gunung Geger.

"Belum lama juga Rum dipijet, kayaknya pegel lagi nih badan." seruku ketika mulai turun dari mobil. Ummah yang mendengarnya langsung menjawil lenganku.

"Tumben mau di pijet Rum, kenapa hayolo, sakit apa kamu?"

"Sebenarnya Rum ga kenapa-kenapa Ummah, hanya saja Ibu ya maksa, jadi Rum ga bisa nolak."

Gus Sena yang turut mendengar ikutan tertawa.

"Hmm kirain,,,"

"'Rumah Ustadzah Zidna yang mana ya?" Aku berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Aku melirik jajaran rumah yang sebagian besar berupa batu bata yang belum di lapisi apalagi di plitur.

"Bukan di daerah sini Rum, masih di kampung atas. Kita perlu berjalan untuk sampai disana, mobil tidak bisa masuk soalnya." Buya yang menjelaskan.

Aku tersentak kaget, mana sandal yang kupakai berheels lumayan tinggi.

Tiba-tiba seorang perjaga tanggung mendekat dengan sopan.

"Ngapunten Pak Yai, kulo utusan keluarga Haji Sulaiman untuk mengarahkan dan mengantarkan Pak Yai sekeluarga."

"Alhamdhulillah, makasih Mas sudah dijemput. Tadi saya khawtir tersesat sebab belum pernah sampai sini." Buya yang menanggapi.

Lelaki itu hanya mengangguk dengan kondisi menunduk ala santri disertai denggan senyum yang tak pernah memudar.

"Monggo Pak Yai," Lelaki itu mempersilahkan.

"Ummah, pegangain tangan Rum saja kalau ummah tidak kuat menaiki tanjakannya."

"Loh, ya tidak bisa to Rum, Ummah pegangin tangan Buya saja." Tiba-tiba Ummah mempercepat langkahnya, menyusul Buya yang berada di barisan paling depan.

Gus Sena yang berdiri di belakangku tertawa tanpa suara.

"Kenapa tertawa Gus? Ada yang lucu ya?"

Gus Sena menggeleng.

"Kalau Ning Rum mau, pegang saja tangan saya Ning, nganggur kok!" aku buang muka, malu didengar 2 mbak santri yang membersamai kami di belakang.

"Saya serius Ning, apalagi kaki Ning Rum barusaja pulih dari keseleo yang kemaren itu bukan." Aku terdiam, langkahku berhenti.

Ucapan Gus Sena bagaikan perkataan si pahit lidah. Secara tiba-tiba, nyeri di kaki kananku mulai terasa, meskipun tak seberapa.

"Kenapa Ning?"

"Gus Sena menyumpahi kaki Rum agar kumat lagi ya?" sungutku kesal.

"Astaghfirullah Ning, tidak."

"Tapi kaki Rum jadi nyeri beneran sekarang."

Bukannya menjawab, Gus Sena malah tertawa. Tapa yang tanpa suara seperti biasanya.

"Itu artinya Ning Rum ditakdirkan untuk berpegang pada tangan saya Ning."

Terpikat Pesona Ning RumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang