1.

907 75 1
                                    

⋆♱✮♱⋆☽☾⋆♱✮♱⋆

Hogwarts, 1995

"HEI, DARAH LUMPUR, SINI KAU!"

Rosette memutar bola mata jengah, tetap berjalan meskipun si pug Parkinson mencaci maki di belakang. Gadis itu yakin dia tidak melakukan sesuatu yang salah sebelumnya. Justru Parkinson yang mau merundungnya lagi dengan menaruh ember penuh nanah bobotuber dia atas pintu, dan tentu saja, trik mereka mudah sekali dibaca, atau mungkin karena Rosette sudah terbiasa, jadi sudah hapal betul. Ia dengan mudah menghindar ketika ember itu jatuh, dan malah mengenai anak-anak Slytherin yang sudah menyiapkan kembang api Filibuster di balik pintu.

"Mr Filch." Gadis itu berusaha tidak mengeryit ketika pria squib itu menoleh. Benar kata Harry Potter, Mr Filch memang lebih baik dilihat dari jauh. "Miss Parkinson menumpahkan nanah bobotuber di pintu kamar mandi."

"Anak sialan!" makinya. Rosette mengulum bibir untuk menahan tawa ketika Mr Filch bergegas pergi dengan gagang pel dan ember serta si kucing, Mrs Norris mengikutinya dari belakang. Langkahnya dihentakkan, membuat cara berjalannya yang sudah aneh semakin mengherankan.

Saat Rosette terus berjalan menjauh di koridor, ia bisa mendengar Parkinson yang masih kesakitan karena seluruh bagian tubuhnya yang tersiram mulai ditumbuhi bisul-bisul mengerikan—hampir mirip milik Filch—berteriak tak terima, "BUKAN AKU! TAPI DARAH LUMPUR ITU."

Gadis itu tersenyum penuh kemenangan, berjalan dengan riang ke arah aula besar, ke meja Hufflepuff untuk makan siang tanpa beban pikiran sama sekali. Ia melambai pada keempat temannya yang memandang penuh keheranan, kecuali Justin mungkin. Lelaki itu menyeringai bangga, sudah teracuni Rosette hingga semakin lama semakin mirip Slytherin.

"Itu pasti sakit sekali," kata Hannah cemas. Dia merasa agak kasihan saat melihat Parkinson digotong ke sayap rumah sakit dari pintu aula besar yang terbuka. Namun sepertinya Hannah tidak keberatan kalau perempuan itu terluka akibat ulahnya sendiri.

"Yah, memang itu karmanya," kata Justin, ikut tersenyum senang dan mengacak rambut Rosette gemas. "Yang penting Rosette tidak terluka. Kau tidak apa-apa, kan?"

"Tidak. Aku agak kelewat senang sebenarnya," ujar gadis itu, menyengir.

Rosette melirik ke meja Slytherin sesaat, dan tatapan maut seakan ia adalah seorang pengkhianat langsung dihadiahkan para ular-ular itu padanya. Mereka tidak salah. Ia memang bisa dianggap semacam itu. Mana pernah dalam sejarah berdirinya Hogwarts ada seorang Muggleborn masuk ke Slytherin.

Gadis itu juga tidak menyangka, rasanya seperti lebih baik pulang saja dengan Hogwarts Express. Sejak si topi seleksi menyebutkan 'SLYTHERIN' keras-keras di atas kepalanya, hidupnya jadi susah. Ia tidak diterima di Slytherin sebagai Muggleborn, atau darah lumpur, atau apalah mereka menyebutnya. Namun ia juga dikucilkan asrama lain karena seorang Slytherin.

Namun Rosette bersyukur, ia selalu merasa beruntung karena bertemu Justin. Lelaki itu selalu menjadi yang pertama...yang pertama berkenalan dengannya di kereta dan mau duduk satu kompartemen, orang pertama yang menyelamati waktu ia masuk Slytherin sementara yang lain mencibir, dan yang pertama tidak menganggapnya sebagai bahan kucilan. Dia tidak bisa membayangkan kalau saat itu ia tidak membolehkan Justin duduk di kompartemennya. Dia bisa apa tanpa Justin.

"Omong-omong, kalian jadi ikut ke Hog's Head?" tanya Ernie, menolehkan kepalanya ke meja Gryffindor, dimana Hermione Granger baru saja mengacungkan kedua ibu jari ke arah mereka. "Apa Harry Potter akan benar-benar menceritakan yang sebenarnya tentang bagaimana Cedric dibunuh?"

Rosette menelan ludahnya kasar entah sebab apa. Namun rasanya setiap orang menyebut tentang sesuatu yang berhubungan dengan Kau-Tahu-Siapa, ia pasti merasa sesuatu yang mengganjal di dadanya, seakan dialah penjahatnya, padahal jelas-jelas ada di sana bersama mereka setiap saat. Dia bahkan hampir pingsan ketika melihat mayat Cedric Diggory. Ia dan Cedric memang tidak dekat. Justru Ernielah yang paling dekat dengan Cedric. Namun tetap saja, bagaimana bisa tidak terkejut setengah mampus kalau teman yang kalian sedang dukung sepenuh hati mengikuti turnamen, tahu-tahu pulang tinggal mayat?

𝐀 𝐒𝐨𝐮𝐥𝐦𝐚𝐭𝐞 𝐖𝐡𝐨 𝐖𝐚𝐬𝐧'𝐭 𝐌𝐞𝐚𝐧𝐭 𝐭𝐨 𝐁𝐞 | 𝐕𝐨𝐥 𝐈 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang