{segala hal, tokoh, karakter, alur hanyalah fiksi. Tidak boleh dikaitkan dengan kehidupan member asli.}
Suamiku bukan sakit, tapi dia terlahir spesial.
Kisah seorang pengidap autisme yang punya cinta luar biasa terhadap istrinya.
Main Pair :
*Jeon...
Juna berekspresi teduh, "Iya kak Tae. Ya panasnya lebih mendingan."
Taehyung mengusap iba dahi adik iparnya, menguatkan remaja itu. Di dekat kakinya, Jungkook heboh sendirian. Memijit-mijit penuh perhatian, Jungkook setia di sisi Juna.
Tidak ketinggalan, laki-laki polos itu juga bergumam sarat khawatir, "Hengg... henggg...futsal.. eng.. tendang.. Juna main bola.. kan futsal... pakai kaki ini.. tidak boleh.. luka.. tidak boleh ada luka.. Juna-yaa.."
"Haha aman. Kakiku ga kenapa-napa kak Jungkook. Cuma tangan doang yang kena. Itupun juga melepuh dikit. Santai aja ya."
Jungkook tetap gelisah meski dapat jawaban dari adiknya, masih risau. Bukan apa, soalnya dia menyaksi langsung bagaimana Juna bermandi minyak panas. Rasa bersalah menyergapi kepalanya. Lalu, melampiaskan dengan menggigit jari-jarinya sendiri sampai mengelupas berdarah.
"Eits! Eits! Kak Jungkook!" tahan Juna, yang dilanjutkan oleh larangan Taehyung. "Mas, ga boleh ngigitin kuku!"
Jungkook meraung kecil, mondar-mandir gelisah dalam bilik pasien. Kadang diam, lalu berjalan ke pojok ruang untuk mencakar tembok. Sebentar mendekati kaki Juna, lalu memijit terus. Sebentar keluar pintu, memanggil dokter jaga dan perawat guna mengecek Juna.
Beberapa kali kadang Jungkook disegak perawat. Kesal juga lama-lama musti jawab pertanyaan serupa.
Kini, dia menjelajah keluar diajak Yuju ke kantin rumah sakit. Mumpung sedang ada waktu berdua dengan ipar bontotnya, Taehyung mencoba bicara 4 mata.
"Juna, apa sekarang kamu mungkin ada kecewa sama bang Jungkook? Barangkali sedikit?"
"Ha? Kak Tae bahas apa maksudnya?"
Taehyung menarik nafas pelan, rautnya kalem. "Bukannya kakak mau ikut campur atau sok tau ya. Tapi kunci bahagia keluarga, bukannya lebih baik jujur saja? Terpancar kok dari matamu Juna."
Kontan, sorot ceria Juna memudar. Dia terpekuk diam. Tidak menyahut sepatah lagi.
Diamnya Juna sudah memberi jawaban. Reaksi wajah juga, semua ketahuan jelas.
"Jun—
Remaja itu memotong bicara cepat, "Bukan. Aku bukan— Aku bukannya kesal sama kak Jungkook. Apalagi marah kak. Engga tebersit sama sekali aku ada nyalahin kak Jungkook."
Mata merah berair, Juna tersenyum sepahit empedu. "Cuma— jujur kak, pertandingan itu impianku sejak kecil. Aku sudah berlatih keras dan mati-matian demi hari itu. Ibaratnya futsal itu bagian dari hidupku. Dan pertandingan itu satu-satunya kesempatan jalanku. Aku jadi sedikit kepikiran dan ga rela."