Something

160 35 2
                                    

Deg

Deg

Deg

Sial!

Rasanya benar-benar sakit. Aku sungguh butuh pertolongan sekarang, dan tujuanku saat ini adalah Profesor Snape. Sambil menahan rasa sakit di dadaku, aku memusatkan pikiran ku pada posisi Profesor Snape sekarang. Semoga saja ia masih di sana.

Aku langsung merasakan tubuhku tersedot kembali, bersamaan dengan itu darah memuncrat keluar dari mulutku. Aku berlutut dan terbatuk tepat di depan Profesor Snape yang menatapku bingung.

"Apa yang terjadi?!" tanyanya panik. Meskipun begitu, raut wajahnya tetap tenang.

Aku menggeleng, masih terus terbatuk dan mengeluarkan darah dari mulutku. "Vol...demort," kataku berusaha menghirup udara yang semakin lama rasanya seperti menjauhiku.

Profesor Snape dengan sigap mengeluarkan sebuah botol kecil dari balik jubahnya, ramuan. Ia membuka penutup botol itu dan meminumkannya padaku. Aku meneguk kasar ramuan yang entah apa itu, tak peduli rasa pahitnya. Setelah itu, pria serba hitam ini mengarahkan tongkat sihirnya ke arah dada kiriku. Jantung tepatnya. Tangan satunya menahan punggungku agar tidak jatuh.

Aku tidak tahu mantra apa yang ia ucapkan. Terserah saja, aku tak ingin merasakan ini lagi. Selang beberapa menit, rasa sakitnya mulai hilang lalu semakin lama benar-benar menghilang. Aku menghirup udara dalam-dalam, mengembuskannya lagi secara kasar.

"Terima kasih," lirihku lemah.

"Kau bisa menjelaskan apa yang terjadi?" tanya Profesor Snape menatapku dengan tatapan serius. Namun, aku dapat melihat ketakutan dikedalaman matanya.

Aku membersihkan mulutku dengan lengan baju sembari berucap, "Voldemort mencoba berbicara denganku, tapi aku menolak. Tiba-tiba saja jantungku terasa sakit seakan-akan itu ingin meledak."

"Kau...menolak?" Profesor Snape memicingkan matanya sembari memberikan sapu tangan putih kepadaku.

Aku mengangguk. "Aku tidak tahu bagaimana caranya. Aku hanya mengabaikannya dan... Oh. Aku tanpa sengaja menghinanya," ujarku panik.

Profesor Snape berdecak, "ia pasti tidak terima atas penghinaan yang kau berikan. Jika lain kali ia mengajak mu bicara, jangan menolak! Pastikan kau mendengarkan dengan baik apa yang ia katakan, itu bisa jadi adalah informasi penting yang bisa kita berikan pada Orde."

"Aku akan berusaha."

.
.
.

Tepat 30 menit sebelum sarapan dimulai, aku pergi ke kamar mandi perempuan untuk membersihkan pakaianku. Mencuci wajahku dan tanganku yang menampakkan bekas darah yang mengering. Aku menatap Lestrange di cermin, menatapnya dengan sangat lekat tanpa melewatkan satu detail pun.

Orang ini cantik. Sangat cantik, ku katakan. Mata hitamnya menatap dengan tajam seakan-akan itu bisa menembus jiwamu, kulitnya pucat dan sangat kontras dengan bibir merah tipis. Ia jauh lebih cantik dari wajahku. Begini rasanya cantik?

Aku terus menatap wajah itu di cermin. Lalu, betapa terkejutnya aku ketika wajah yang lebih pucat muncul di cermin dengan kacamata bulatnya. Senyumannya aneh sekaligus mengerikan.

"Kenapa kau di sini sepagi ini?" Suara melengking itu menusuk telingaku. Tertawanya yang mengerikan berhasil membuat mataku membulat sekaligus menggerakkan tanganku untuk menutup kedua telingaku.

"Apa ada masalah dengan itu?" tanyaku balik.

Moaning Myrtle terbang memutari ku. "Tak banyak anak yang kemari. Apalagi sepagi ini," katanya disertai dengan tawa melengking itu lagi.

LestrangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang