Duel with Snape

168 20 0
                                    

"Sekarang, kau akan berduel denganku, Sein," ujar Profesor Snape memegang erat tongkat sihirnya.

Belum sempat aku memprotes, ia langsung mengangkat tongkat sihirnya untuk bersiap. "Aku tak ingin dengar segala keluhanmu. Pangeran Kegelapan tak pernah beristirahat hingga ia menjadi seperti sekarang," ucap Profesor Snape tajam.

Dengan terpaksa, aku mengangkat tongkat sihirku dan mulai bersiap. Keringat dingin kembali mengucur, tubuh yang tadinya rileks kini kembali cemas. Aku takut aku gagal.

"Expelliarmus!" Profesor Snape menyerang lebih dulu tanpa kuduga.

Kilatan merah muncul dari tongkat sihirnya. Belum sempat aku bereaksi, tongkat sihirku sudah lepas dari pegangan.

"Fokus, Sein. Kau tahu harus apa," ujar Profesor Snape kembali bersiap. "Ini juga belum seberapa. Jika energi yang ku kerahkan lebih besar, kau mungkin sudah terhempas. Sekarang giliranmu."

"Stupefy!" jeritku mengarahkan tongkat sihir pada Profesor Snape.

Kilatan merah muncul dari tongkatku, bergerak secepat kilat ke arah Profesor Snape. Namun sayang, pria itu berhasil memblokirnya dengan hanya mengayunkan tongkat saja.

"Itu sudah bagus. Kalau lebih kuat lagi, kau bisa membuat lawanmu terhempas dan pingsan," timpal Profesor Snape yang dibalas anggukan olehku.

"Expelliarmus!" Kali ini Profesor Snape yang menyerang.

"Protego!" pekikku menghalau kilatan merah dari tongkat sihir Profesor Snape.

"Expelliarmus!"

Kilatan merah kembali muncul dari tongkat sihirku, bersamaan dengan diriku yang bersin. Namun sayang, bukannya mengarah pada Profesor Snape, mantraku melesat jauh ke atas, mengenai lampu gantung di tengah ruangan. Lampu itu jatuh dan pecah berkeping-keping di lantai. Untungnya, aku dan Profesor Snape sudah lebih dulu menyingkir.

Ku tatap dengan waspada pria di depanku. Ia terlihat sedikit kesal, lebih baik daripada yang ku bayangkan—kupikir ia akan marah dan mengutukku menjadi kodok. Profesor Snape melambaikan tongkatnya. Dalam sekejap mata, lampu gantung yang tadi hancur kembali utuh dan tergantung lagi di langit-langit ruangan.

"Keren," gumamku dengan mata berbinar.

"Kau bisa melakukan itu juga jika berlatih lebih sering," timpal Profesor Snape. "Lalu—kondisimu tampaknya kurang baik. Kau bisa kembali ke asrama mu dan beristirahat. Aku tak ingin ada kecelakaan fatal yang disebabkan oleh hal bodoh ini," lanjut Profesor Snape sinis.

Memang benar, lagipula, itulah yang ku inginkan. Kembali ke asrama dan menikmati teh sambil membaca buku di depan perapian. Namun, aku sudah terlanjur menyukai duel ini. Seakan-akan ada sesuatu yang ingin keluar dari tubuhku.

"Profesor, bisakah kau memberikan ku ramuan untuk flu ku ini?" tanyaku dengan memohon.

Kulihat pria itu mengembuskan nafasnya, kemudian berbalik ke arah rak penuh ramuan. Jari-jarinya menari di antara botol-botol berisi cairan berbagai warna, lalu berhenti pada botol berisi cairan berwarna merah kejinggaan. Profesor Snape memanaskan ramuan itu sebelum memberikannya padaku.

"Pepperup Potion?" gumamku membaca nama pada kertas yang pinggir-pinggirnya gosong—yang tertempel pada badan botol.

"Tunggu sebentar, biarkan agar tidak terlalu panas. Kau jelas tidak mau lidahmu terbakar, 'kan?" ujar Profesor Snape menyandar pada sisi meja.

Aku mengangguk. Setelah beberapa menit menunggu, aku langsung saja meneguk ramuan itu. Rasanya sangat pedas, seperti obat-obat batuk dan flu di duniaku. Seketika, tubuhku menjadi lebih hangat dan asap sepertinya muncul dari kedua telingaku. Aku tidak suka bagian telinga ini, tapi aku suka tubuhku menjadi hangat.

"Ugh terima kasih, Profesor."

Aku dan Profesor Snape melanjutkan latihan duel yang tertunda tadi, kali ini bahkan lebih sengit dari yang kuduga. Kami masing-masing terus melayangkan mantra untuk menyerang. Profesor Snape selalu menyebut mantra menyerangnya dengan sangat jelas, dan menghalau seranganku dengan hanya melambaikan tongkatnya saja. Lalu aku, entah itu menyerang maupun bertahan, aku selalu menyebut mantraku keras-keras.

"Confundus!" pekikku yang menyebabkan Profesor Snape linglung dan hampir terjatuh. Aku berusaha keras untuk menahan tawaku. "Maaf," kataku pelan.

Profesor Snape kembali menegakkan tubuhnya. "Sudah bagus. Aku tidak menyangka kau akan menggunakan mantra itu," ucapnya memujiku. Aku tidak menyangka ia akan memujiku.

Aku mengangguk mantap, lebih bersemangat lagi untuk berlatih.

"Kau sudah lebih menguasai. Sekarang, aku ingin kau terus menyerang ku," suruh Profesor Snape yang dibalas anggukan olehku.

"Everte Statum!"

Pria serba hitam yang ku serang ini seketika terlempar ke belakang, ku tebak, ia sengaja tidak menggunakan mantra pelindung maupun mantra pembalik. Profesor Snape langsung kembali ke posisi semula dan mulai bersiap.

"Expelliarmus!"

Tongkat sihir Profesor Snape terlepas dari tangannya. Tak hanya itu, ia sedikit terhempas ke belakang, melayang. Namun sebelum jatuh, pria ini terbang dan kembali ke sisi semula. Bukannya kesal, ia justru tersenyum bangga. Entah bangga karena aku berhasil membuatnya terhempas, atau bangga karena ia menunjukkan kemampuan terbangnya.

"Kau bisa terbang?" ujarku tak percaya sekaligus tertarik.

"Baiklah. Sudah cukup untuk hari ini, kurasa. Kau boleh kembali ke asrama mu," ujar Profesor Snape mempersilakan ku keluar.

Aneh. Secara tiba-tiba? Kulihat ia memijat pelipisnya. Apa ia sedang sakit? Profesor Snape adalah orang yang selalu menyembunyikan apapun tentang dirinya maupun keadaannya. Jadi aku tidak tahu pasti apa yang sedang ia alami. Apa karena efek dari mantra yang ku berikan padanya?

"Kau baik-baik saja, Profesor?" tanyaku khawatir. Bukan karena apa-apa, hanya saja, pria ini sudah banyak menolongku. Jadi kupikir, tak ada salahnya menanyakan keadaannya.

"Ya, aku baik-baik saja. Kau boleh keluar, sekarang," jawabnya menekan kata terakhir.

Aku tidak mengatakan apapun lagi setelah itu, kemudian melangkahkan kakiku cepat menuju pintu keluar. Sedikit kulirik Profesor Snape dari ekor mataku, ia sedang mencari sesuatu dari rak ramuannya. Masih dengan satu tangan yang memijat pelipisnya.

Tanganku sudah di pegangan pintu. Tapi, rasa terbakar di jantungku yang dulu sempat muncul, kini kembali lagi. Jantungku berdetak berkali-kali lipat dari yang seharusnya, rasanya seperti akan meledak. Belum sempat untuk berpikir dan meminta bantuan, aku merasakan tubuhku melayang.

Tidak, bukan hanya melayang. Tapi terbang, seperti Profesor Snape tadi. Aku terbang kesana kemari mengelilingi ruangan ini, tanpa bisa kukendalikan. Saking tak terkendalinya, aku menabrak dinding dan benda-benda yang ada di sini, cukup untuk membuat tubuhku remuk.

"Seina Roztá! Cepat turun! Apa yang terjadi dengan mu?" tanya Profesor Snape panik. Meski begitu, ia tampak lebih tenang dari yang seharusnya.

Aku ingin bilang bahwa aku tak bisa mengendalikannya. Tapi, untuk sekadar bicara saja, tenggorokanku sakit dan terasa sangat panas. Aku masih terbang tak terkendali, tubuhku menabrak semua yang bisa ia tabrak, dan tenggorokanku sangat sakit. Tapi tetap saja, suara Voldemort sialan ini muncul di kepalaku.

#

Yahoo

Aku up lagi hehe. Lagi semangat"nya nulis wkwkwk. Emang gitu ya, bentar" semangat, bentar" gadak motivasi samsek.

Cringe gak sih? Aku sebenarnya bingung mau buat scene duelnya gimana, jadi terkesan kaku deh. Ada saran aku harus nyari referensi dimana?

Anyway, sejauh ini gimana? Kalian suka gak sama ceritaku yang satu ini? Menurut kalian endingnya bakal gimana?

Sini aku spill dikit. Waktu buat cerita ini, aku ada kepikiran gabungin teori sains, supranatural dengan hal" berbau sihir kek gini wkwkwk. Tapi gak tau deh, eksekusinya nanti bakal gimana.

Ditunggu ya.....

See you bye bye ✌🏼

LestrangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang