Langit gelap sedemikian rupa sore ini, angin dingin berembus menjatuhkan dedaunan coklat ke tanah yang lembab. Meskipun begitu, aku tetap melangkahkan kakiku menuju hutan terlarang bersama Profesor Slughorn. Dengan berbalut sweater dan jubah panjang, aku mempercepat langkahku, mengejar pria tua yang sudah jauh di depan sana.
"Cepat, Lestrange. Kita harus kembali sebelum hujan," teriak Profesor Slughorn dari kejauhan yang membuatku semakin mempercepat langkahku—berlari.
Mengingat bahwa ia tidak dapat menemukan Potter, dan nilai ramuan ku yang cukup baik—lantaran pelajaran ini sedikit mirip dengan pelajaran kimia di duniaku, Profesor Slughorn memercayakan ku untuk membantunya mencari bahan ramuan di hutan terlarang. Ini mengingatkan ku pada saat aku membantu Profesor Snape membawakan keranjang berisi bahan-bahan untuk ramuannya.
Udara semakin dingin begitu kami memasuki wilayah hutan, aku sedikit menyesal tak memakai syal.
"Sebelah sini," ujar Profesor Slughorn berjalan ke balik pohon besar dengan akar mencuat dengan tidak sabar.
"Apa yang ingin kau ambil, Profesor?" tanyaku penasaran.
"Kumbang mati utuh untuk membuat ramuan Felix Felicis lagi. Ingat? Aku sudah memberi ramuan itu pada Harry di pertemuan pertama, dan stok kumbang mati ku juga sudah habis. Kita akan cari yang banyak," jawab Profesor Slughorn bersemangat.
Jujur saja, pembuatan ramuan di dunia sihir ini sangat aneh. Ku katakan sekali lagi, sangat aneh. Mereka menggunakan banyak bahan-bahan yang kurang lazim untuk kemudian diminum, bahkan aku pernah melihat bola mata entah milik mahkluk apa di ruang penyimpanan Profesor Snape. Aku ogah-ogahan saat pertama kali disuruh minum ramuan oleh Madam Pomprey ketika sakit, sekarang sih sudah biasa.
Kulihat Profesor Slughorn memasukkan satu ekor kumbang mati ke dalam keranjang yang ku pegang, ia kemudian kembali berjalan ke pohon lain dan mulai mencari lagi. Aku masih setia mengikuti di belakangnya.
"Apa kita harus mencari kumbang mati sampai ke hutan terlarang, Profesor? Apa tidak ada kumbang mati di sekitar kawasan Hogwarts?" tanyaku lagi.
"Yang di hutan terlarang masih segar," jawab Profesor Slughorn sambil meraba-raba di balik akar pohon.
Aku mengangkat alisku, bingung. Masih segar? Mungkin saja. Bagaimanapun, banyak hal yang masih belum bisa ku pahami di dunia sihir ini. Dan sampai sekarangpun, aku masih mencari tahu dan mencoba beradaptasi—berjaga-jaga kalau ternyata aku tak bisa kembali ke dunia ku.
Kami menghabiskan setidaknya tiga per empat jam untuk mencari kumbang mati utuh. Rintik hujan mulai jatuh ke tanah, membahasi tanah yang semula lembab menjadi lebih lembab.
"Err Profesor. Jika aku tak salah ingat, kau bilang kita harus kembali sebelum hujan. Sekarang sudah mulai gerimis, Profesor," sahutku mengingatkan Profesor Slughorn, masih sambil memegang keranjang.
Profesor ramuan ini akhirnya mengangkat kepalanya menghadap langit. "Oh kau benar, maaf Lestrange. Kurasa itu sudah cukup," tunjuk Profesor Slughorn pada keranjang yang kupegang.
Gerimis tadi kini berubah menjadi hujan deras, bersamaan dengan itu, petir mulai menyambar. Aku berlari mengikuti Profesor Slughorn di depanku. Hujan mengikuti kami dari belakang, seperti ingin melahap dengan tidak sabar.
.
.
."Kau baik-baik saja, Bell?" tanya Malfoy begitu ia sadar bahwa aku terus-terusan bersin.
"Ya. Hanya sedikit flu karena kena hujan tadi," jawabku kembali memasukkan sesendok sup ke dalam mulutku.
Makan malam kali ini, kami dihidangkan sup hangat yang lezat. Mungkin karena di luar sedang hujan deras. Malfoy makan di samping kananku, sedang di samping kiri terdapat Daphne Greengrass yang makan sambil membaca surat kabar. Lalu Parkinson, ia di samping Malfoy, gadis itu sejak dulu selalu menempel pada Malfoy.
"Yakin?" tanya Malfoy sekali lagi untuk memastikan, aku menjawab dengan mengangguk.
Setelah sup ku habis, dan makan malam ditutup dengan sedikit nasehat dari Profesor Dumbledore, kami dipersilakan untuk menikmati waktu di asrama masing-masing. Tapi tidak denganku. Aku harus latihan duel dengan Profesor Snape.
Pria dingin tanpa ekspresi itu menghampiriku begitu aku berdiri dari dudukku, menyuruhku untuk mengikutinya ke ruang pribadinya. Dan tentu saja aku menurut. Bagaimanapun, semua ini untuk mempersiapkan ku pada hal buruk yang mungkin terjadi kedepannya. Harus ku akui, aku sedikit kurang beruntung karena terbangun di tubuh seorang gadis yang dekat dengan kegelapan.
Kakiku berhenti begitu aku dan Profesor Snape sampai di ruang pribadi pria yang kini mengajar PTIH, bukan lagi ramuan. Ia menutup pintu dan mulai melambaikan tongkatnya untuk menyingkirkan barang-barang, menyisakan ruang kosong di tengah.
"Aku yakin kau sudah tahu beberapa mantra untuk duel," ucap Profesor Snape memulai, aku mengangguk menyetujui.
"Setahunan ini, Draco sering mengajariku," timpalku yang membuat Profesor Snape mengangkat alisnya.
"Bagus kalau begitu, tampaknya anak Malfoy itu cukup banyak membantumu. Apa saja yang kau tahu?" tanya Profesor Snape menautkan jari-jarinya di depan.
Aku berpikir sejenak kemudian menjawab, "beberapa mantra dasar. Seperti, expelliarmus, protego, stupefy, petrificus totalus, confundus charm."
Profesor Snape mengangguk. "Apa kau tahu tiga kutukan tak termaafkan?" tanya Profesor Snape lagi.
"Ya, anak-anak Slytherin sering membicarakan itu," jawabku.
"Baiklah. Aku punya mantra yang dapat kau gunakan untuk melawan Pelahap Maut, sekaligus mengajarkanmu mantra non-verbal," ujar Profesor Snape memandang ku serius.
"Geez."
"Aku tidak akan mempraktekkannya mengingat mantra ini sangat berbahaya, jadi aku hanya akan memberitahu mu apa itu dan efeknya," lanjut Profesor Snape.
Aku menunggu. Tanganku bergetar, jantungku berdetak dua kali lebih cepat, keringat dingin mulai mengucur membasahi diriku. Bagaimana tidak? Aku akan belajar beberapa mantra yang ku yakin sangat berbahaya, sekaligus belajar berduel dengan salah satu Profesor yang ku dengar ahli dalam berduel.
"Aku menyebutnya, Sectumsempra. Kau pasti tak pernah mendengar mantra ini, kementrian sangat melarang mantra ini untuk dipergunakan. Dan sebagai orang yang menciptakan mantra ini, aku juga menciptakan mantra pembalik yang ku sebut, Vulnera Sanentur. Aku menyarankan untuk berhati-hati dan tidak menggunakannya bila tidak perlu," ucap Profesor Snape menjelaskan dengan nada penuh kebanggaan.
"Gila. Orang ini menciptakan mantranya sendiri? Pantas saja ia menjadi double agent," batinku.
"Sectumsempra. Aku mengerti," kataku berusaha mengingat mantra dan mantra pembaliknya.
Untuk beberapa mantra yang tidak begitu berbahaya, Profesor Snape menyuruhku untuk menyerangnya sebagai praktek agar aku lebih dapat menguasai. Untungnya, pria serba hitam yang mengajariku ini sudah menggunakan mantra muffliato agar suara dari tongkat sihir dan mantra tak terdengar oleh orang-orang di sekitar.
Setidaknya sudah dua jam aku mempelajari mantra-mantra baru, aku cukup lelah untuk latihan malam ini. Namun...
"Sekarang, kau akan berduel denganku, Sein."
#
Sejauh ini gimana gaes? hehe
Makasih buat yang udah ngikutin sampe sini. Aku sangat menghargai itu ♡´・ᴗ・'♡
Gak tau mau bilang apa lagi, pokoknya makasih buanyak......
See you bye bye ✌
KAMU SEDANG MEMBACA
Lestrange
FanficAku yang tak sengaja terdorong oleh temanku, jatuh dari gedung lantai tiga. Ku pikir itulah akhir dari hidupku. Namun, aku malah terbangun di tubuh gadis lain dan ditempat yang tak dikenal. Sebuah dunia yang menggunakan sihir dalam keseharian mereka...