Bag.1

62.5K 1.8K 34
                                    

" Selamat datang kembali di Indonesia Nyonya."

Pria paruh baya itu menundukkan kepalanya hormat.

Perempuan yang di panggil Nyonya membuka kaca mata hitam yang melindungi mata nya.

" Pak Slamet?"

Perempuan itu memastikan orang yang menyapa nya barusan.

" Iya, Saya Nyonya. Saya datang untuk menjemput Nyonya."

Perempuan itu mengangguk sembari memegang kopernya. Suasana bandara Soekarno Hatta tampak ramai lalu orang silih berganti.

"Sudah berapa kali saya katakan. Jangan panggil saya Nyonya, Pak!"

Pak Slamet membuka pintu mobil mempersilahkan perempuan itu masuk.

Berlanjut memasukkan koper dan barang bawaan ke dalam bagasi.

Pak Slamet duduk di kursi kemudi dan menjalankan mobil menuju kediaman majikannya.

" Sudah menjadi kewajiban saya memanggil Nyonya muda sejak Nyonya besar masih ada."

Perempuan itu terdiam mendengar balasan Pak Slamet. Matanya memperhatikan kendaraan dan jalan lalu lintas. Mata nya seakan menerawang jauh.

" Sekarang beliau sudah tidak ada, Pak. Jadi panggilan itu tidak berlaku lagi. Panggil saja Athena. Tidak ada yang akan marah lagi."

Pak Slamet tersenyum mendengar suara lembut majikannya.

" Tetap saja saya tidak enak. Terlebih itu tidak sopan rasanya. Pembantu memanggil majikannya dengan nama. Saya jelas akan menolak."

Athena menatap ke depan. Ia tersenyum sedih.

" Jangan lupa, bahkan asli saya berada di bawah pembantu, Pak."

Pak Slamet terdiam. Ia tidak menyanggah.

" Yang dulu dulu sudah berlalu. Saat nya kita move on. Begitu kata anak muda zaman sekarang. Lagian saya juga malu dan segan. Di belakang saya sekarang bukan lagi Athena Tunggadewi. Sudah berjejer gelar di depan dan belakang. Sudah menjadi orang besar dan terkenal. Tidak pantas rasanya memanggil nama saja."

Athena menghela nafas sembari tersenyum tipis.

" Bagaimana dengan Nona saja? Telinga saya lebih enak mendengar Nona dibanding Nyonya. Tidak ada bantahan dan penolakan Pak. Ini perintah!"

Pak Slamet terkejut mendengar nada tegas majikannya sekarang.

" Baiklah Nona. Saya bersedia."

Athena tersenyum. Ia kembali mengalihkan pandangannya le samping. Pikirannya berkelana.

" Tidak terasa saja sudah lima tahun sejak kematian Nenek ya, Pak!" ujar Athena pelan namun Pak Slamet masih bisa mendengar.

" Hidup terus berjalan. Kehidupan, kematian, rezeki dan jodoh tidak ada yang tahu. Kita menjalani takdir yang sudah ditetapkan, Nona."

" Bagaimana kabar rumah, Pak?"

Terdengar suara desahan nafas Pak Slamet.

" Masih sama tidak ada yang berbeda. Hanya sesekali Tuan datang untuk mengenang Almarhumah dan menempati kamar beliau."

" Masih tidak mau tinggal di kediaman utama?"

" Saya dengar Tuan malah sering bolak balik luar kota dan luar negeri."

" Jawaban Bapak bukan lah yang ingin saya dengar."

Pak Slamet menelan ludahnya gugup.

" Sesuai perjanjian Nona. Kediaman utama hanya boleh ditempati oleh Nona dan Tuan."

Sepotong Hati Yang TerlukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang