7. Khawatir

913 45 3
                                    

"Saya tidak mau tahu, pokoknya kamu tidak boleh menumpang di kamar mandi milik Pak Bayu lagi!" ucap Davit sembari mondar mandir di dapur. Lintang yang kini tengah menggoreng tempe pun tidak menanggapi, perempuan itu sedang terburu-buru. Pasalnya bosnya sudah mengamuk karena dia yang semalam tidak datang bekerja, pagi ini ia akan bekerja karena hari minggu kedai kopi sangatlah ramai.

"Lintang, apa kamu dengar saya?" tanya Davit pada Lintang.

"Hem," jawab Lintang dengan deheman. Perempuan itu menepuk jidatnya saat lupa belum memasak nasi.

Buru-buru Lintang membuka tempat penyimpanan beras dan mengambil beras di sana. Perempuan itu segera mencucinya. Davit yang merasa diacuhkan pun mengerutkan keningnya.

"Lintang, bisa gak kalau saya bicara kamu mendengarnya?" tanya Davit.

"Saya mendengarnya, Pak. Saya pinjem dapurnya dulu, ya. Saya masakkan sekalian buat bapak. Kalau area dapur dibagi-bagi susah geraknya, Pak" oceh Lintang.

"Tunggu!" ucap Davit membuat Lintang yang selesai mencuci beras dan akan memasukkan ke rice cooker pun menghentikan gerakannya.

"Iya, Pak?" tanya Lintang.

"Berapa takaran air dan beras yang kamu masukkan?" tanya Davit.

"Sesuka hati saya, Pak. Saya tidak mengukurnya dengan pasti, saya hanya mengandalkan perasaan," jawab Lintang.

"Itu tidak benar. Takaran beras dan air harus tepat dengan perbandi-"

Brakkk!

Lintang memasukkan beras ke rice cooker dan menutupnya dengan kencang menyela ucapan Pak Davit.

"Pak Davit, hidup tidak melulu harus sempurna. Logika akan kalah dengan perasaan," ucap Lintang. Lintang segera mengangkat tempenya dan meletakkan di piring. Perempuan itu ganti mengambil sayur mayur untuk ia masak menjadi tumis. Untungnya di kulkas Davit banyak persediaan sayuran. Lintang menahan rasa sungkannya soal mengobrak abrik lemari pendingin Davit. Davit sendiri yang mengatakan kalau pria itu akan menanggung biaya makannya.

Davit menatap setiap pergerakan Lintang, pria itu pada akhirnya memilih duduk anteng di meja makan. Pria itu tampak menatap Lintang dengan pandangan heran, untuk kali ini ada yang mematahkan logikanya, yaitu mahasiswi-nya yang mengatakan logika akan kalah dengan perasaan.

"Em, Lintang. Biasanya saya akan memotong wortel dengan ukuran cube satu sentimeter kali satu sentimeter," ucap Davit.

"Pak, makanan pada akhirnya tetap dimakan. Kenapa harus meribetkan ukuran sayuran? Mau ukurannya cube, julienne, macedoine, rasanya tetap sama," ujar Lintang.

"Tidak, semakin tebal ukuran, kematangannya pun juga membutuhkan waktu lama," kata Davit.

Lintang memegang pisaunya dengan erat. Lintang sudah sangat terburu-buru karena akan bekerja, tapi Davit malah memperibet soal makanan.

"Lintang, potong wortelnya dengan ukuran cube!" titah Davit. Dengan pasrah pun Lintang memotong dengan ukuran satu centi kali satu centi.

"Saya ingin potongannya harus akurat dan tidak salah sedikit pun!" tambah Davit.

"Pak Davit tidak sekalian mau dibuatkan kopi dengan arang hitam? Lalu dicampur jahe yang digeprek dengan palu, ditambahin gula satu sekrup dan madu sekalian lebah-lebahnya? Itu dijamin manjur buat membunuh orang," ujar Lintang menatap Davit dengan tajam.

Davit membulatkan matanya, tapi sejenak kemudian pria itu menetralkan ekspresinya.

"Saya tidak mau memasukkan sembarangan makanan ke mulut saya. Tolong kamu mengerti. Kamu sudah memakai dapur saya, seharusnya kamu menuruti aturan yang berlaku," kata Davit dengan telak.

Belah Duren Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang