37. Tengah Malam Loh

991 20 0
                                    


"Hukma, kenapa kamu deket-deket sama Bayu Mangkurap Mangkubumi itu?" tanya Seno menatap putrinya dengan tajam.

Napas Seno masih memburu setelah kejadian beberapa menit yang lalu saat ia dikerjain Bayu. Saat ia mengejar Bayu, ia turut melemparkan sandal rumahnya yang dari merk terkenal serta mahal. Bukannya lemparannya tepat sasaran di kepala Bayu, sandalnya malah hilang di rerumputan yang belum ketemu sampai sekarang.

"Pa, aku gak deket sama Pak Bayu. Kebetulan saja dia ke sini," jawab Hukma.

"Kalau gak deket kenapa dia sampai gombalin kamu?" tanya Seno dengan ngegas.

"Ya tabiatnya Pak Bayu memang suka gombal, Pa. Tapi tenang saja, aku gak akan tertarik sama dia."

"Bagus, kamu jangan tertarik sama dia. Bisa-bisa papa hipertensi kalau punya mantu kayak Bayu."

"Tapi Pak Bayu unggul sih, Pa," cicit Hukma yang sedikit membela Bayu.

"Apanya yang unggul? Asetnya? Kalau orang normal membicarakan aset, pasti nyebut apartemen, mobil, investasi dan perusahaan, lah dia yang ditunjukin malah roketnya. Iya kalau roketnya punya kekuatan super, kalau hanya buat pipis apa gunanya," oceh Seno menjatuhkan tubuhnya ke sofa dengan lemas.

"Pa, sabar!" bisik Shela.

"Bagaimana bisa sabar? Selama bertahun-tahun papa hidup, baru kali ini papa menemui tamu yang kurang ajar kayak Bayu. Saking narsisnya dia, dia sampai hapal hitungan namanya. Dia gak pantas jadi Dosen, pantasnya jadi bandar togel," oceh Seno. Hukma dan Shela hanya bisa memejamkan matanya mendengar ocehan-ocehan Shena.

"Wah, kayaknya nyari wangsit di Pak Bayu bakal manjur," ucap Hukma tanpa sadar.

"Hukma!" tegur Seno yang membuat Hukma terdiam.

****

"Pak Davit, kita pulang aja yuk. Sudah jam sebelas nanti mama khawatir," ucap Lintang seraya bersandar di bahu suaminya.

Saat ini Davit dan Lintang tengah berada di mobil, mereka duduk di bangku belakang biar tubuh mereka bisa berdekatan. Maklum, baru merasakan bucin pengennya senggol-senggolan terus.

Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam dan lambat laun pasar malam pun sepi. Namun mereka masih berada di parkiran di seberang pasar malam. Davit enggan pulang karena enggan berpisah dengan Lintang. Davit sudah mendapatkan teror dari mamanya untuk mengembalikan Lintang ke rumah mamanya. Padahal Davit ingin membawa Lintang ke rumahnya dan menikmati waktu berdua.

"Pak, kita pulang yuk!" ajak Lintang untuk kesekian kali. Karena sejak tadi Lintang minta pulang, Davit tidak membalas. Davit terus mengelus rambut Lintang yang kian membuat Lintang mengantuk.

"Pak ...." Lintang mulai merengek. Kalau orang lain yang mendengar rengekan Lintang, mungkin biasa saja. Namun kalau Davit yang mendengar, telinga Davit bak telinga kelinci yang bergerak dan terasa panas dingin hanya mendengar rengekan Lintang.

Suara rengekan manja Lintang bagai desahan merdu yang berputar-putar di imajinasi liar-nya. Davit menegakkan tubuhnya sedikit membuat tubuh Lintang ikut bergerak.

"Lintang, jangan merajuk gitu. Telingaku sensitif dengan rajukan kamu," kata Davit berdehem. Lintang mengerutkan alisnya.

"Aku hanya minta pulang, Pak."

"Gak usah pulang. Kita di sini saja. Pulangnya nanti."

"Kalau mama marah bagaimana?"

"Lintang, mau mama marah sampai seluruh perabotan rumah dibanting, kamu tetap aman. Pulang sekarang atau nanti, tetap aku yang kena marah. Lebih baik pulang nanti karena pulang sekarang pun sama bakal kena amarah," jelas Davit menarik kepala Lintang dengan paksa untuk bersandar di dada-nya.

Belah Duren Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang