23. Kemarahan Lintang

576 28 0
                                    


Bayu berlari keluar dari rumahnya dengan tergesa-gesa saat mendengar keributan dari rumah Davit. Saat keluar, ia mendapati Lintang yang tengah menyeret kopernya sembari menangis. Dengan secepat kilat Bayu mendekati Lintang.

"Lintang, kamu mau ke mana?" tanya Bayu memegang tangan Lintang.

"Lepasin!" titah Lintang dengan tajam.

"Lintang, ini sudah hampir petang, kamu mau ke mana membawa koper begini?" tanya Bayu yang khawatir. Wajah Lintang sudah memerah dengan air mata yang membasahi wajah perempuan itu.

"Mau ke mana pun saya, bukan urusan bapak," ucap Lintang menghempaskan tangan Bayu.

"Lintang, kalau ada masalah bisa diselesaikan baik-baik. Kamu bisa-"

"Saya tidak akan berurusan lagi dengan kalian para dosen yang pemikirannya gak bisa saya cerna dengan pikiran saya. Sekarang jangan pernah ikut campur masalah saya lagi!" tandas Lintang segera menyeret kopernya untuk pergi menjauhi Bayu.

Selain tidak ingin bersama Davit lagi, Lintang tidak ingin dekat dengan orang-orang yang ada hubungannya dengan Davit, terlebih adalah Pak Bayu.

Bayu menatap nanar Lintang yang saat ini dengan tergesa-gesa menyeret kopernya. Bayu ingin mengejarnya, tapi ia mengurungkan niatnya karena menyadari bahwa Lintang mungkin masih ingin sendiri.

Sepanjang perjalanan Lintang menangis terisak-isak. Perempuan itu berusaha keras menghapus air matanya, tapi air matanya seolah tidak ada habisnya. Lintang keluar dari rumah Davit tanpa membawa sepeser pun uang, sejak siang ia juga belum memasukkan makanan apa-apa ke perutnya. Dan kini dengan modal nekat Lintang pergi. Lintang memang miskiin, tapi saat Davit memperlakukannya dengan semena-mena, Lintang tidak akan bertahan lagi.

Lintang juga merasa tidak lagi punya alasan untuk tetap tinggal bersama Davit. Dan surat cerai, Lintang benar-benar akan mengirimnya. Isu di kampus sudah mereda, Lintang tidak ingin Davit semakin mengira kalau ia mencintai Davit dan tidak ingin pergi.

Lintang duduk di pinggir trotoar, ia merasa perutnya sangat sakit. Sekarang Lintang tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Dulu sebelum bertemu Davit, Lintang terbiasa menjalani hidup di jalanan seperti ini. Namun setelah bertemu Davit, Lintang salah sudah merasa bergantung pada pria itu. Dan untuk kali pertamanya ia harus menangis saat tidak punya tempat tinggal. Dompetnya ada di kamarnya lupa tidak ia bawa. Hanya kartu tanda pengenal yang ia letakkan di balik casing hpnya.

Lintang meraih hp dari saku celananya, perempuan itu ingin menghubungi Hukma, tapi mengurungkan niatnya. Hukma adalah adik kandung Davit, tidak mungkin ia menceritakan permasalahan rumah tangganya pada adik iparnya.

Lintang kembali berdiri, perempuan itu berjalan menyusuri jalanan ibu kota yang saat petang sudah mulai lenggang. Lampu-lampu jalan mulai dihidupkan. Lintang hanya bisa menyusuri jalanan tanpa arah. Mau kembali ke rumah suaminya, jelas itu bukan pilihan yang tepat. Ia lebih memilih tinggal di jalanan daripada harus bersama suaminya.

Tampaknya musim pancaroba telah terjadi, baru saja tadi siang cuacanya sangat panas, dan kini hujan turun dengan rintik-rintik. Lintang sudah tidak punya tenaga lagi untuk sekadar berlari mencari tempat teduh. Perempuan itu hanya bisa berjalan pelan hingga air hujan itu turun dengan deras membasahi tubuhnya. Halte bus ada di depan sana, tapi kaki Lintang tidak bisa berlari. Hanya dengan langka pelan lah perempuan itu berjalan. Tidak Lintang pedulikan tubuhnya sudah basah kuyup karena air.

Lintang sudah terbiasa panas terik dan hujan deras di jalanan. Karena delapan puluh persen hidupnya memang di jalan. Apa salahnya menjadi seorang gelandangaan? Kalau boleh memilih Lintang juga ingin hidup mumpuni dengan segalanya ada. Namun inilah kenyataan yang harus dia jalani. Ekspektasinya bertemu dengan cinta sejati hanyalah ekspektasi. Yang pada akhirnya dipatahkan oleh kenyataan. Dan kini siapa yang akan mau meliriknya,

Belah Duren Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang