6. Bujangan atau Duda

985 45 2
                                    

Davit berdiri menghadap cermin di kamar mandinya. Pria itu yang kini tengah memegang sikat gigi sama sekali tidak memperdulikan ketukan pintu dari Lintang. Lintang terus mengetuk pintunya sembari berteriak. Davit tidak ada niatan keluar meski dia sudah selesai mandi. Pria itu hanya saja merasa lucu dengan Lintang yang tengah mengoceh di balik pintu. 

“Eneng pilih yang mana, bujangan atau duda, bujangan memang perkasa duda banyak duitnya….” 

Davit mengerutkan keningnya saat mendengar nyanyian yang keluar dari bibir Lintang. Tidak hanya sekali, tapi Lintang mengulanginya berkali-kali dengan menekan kata duda banyak duitnya. 

“Eneng pilih yang mana … bujangan atau duda, bujangan memang perkasa duda banyak duitnya … banyak duitnya … pelit kamar mandi ….” 
Davit tertawa kecil mendengar suara Lintang yang makin lama makin menggebu-gebu. Davit meletakkan sikat giginya, pria itu mengambil kaos yang tersampir dan memakainya cepat. 

“Lintang, kalau boleh tahu apa judul lagu yang kamu nyanyikan?” tanya Davit setengah berteriak. 

“Duda banyak duitnya,” jawab Lintang asal sembari mendengus. 

“Bujangan atau duda … bujangan memang perkasa … duda banyak duitnya!” teriak Lintang lagi menyanyi. Davit tidak bisa menahan tawanya, pria itu tertawa kecil karena nyanyian Lintang. 

Davit segera membuka pintu kamar mandi, Lintang yang awalnya bersandar di pintu pun langsung menubruk tubuh Davit. Dengan sigap Davit menahan tubuh Lintang. Bak film romantis yang kerap Lintang tonton, kini adegan slow motion pun Lintang rasakan saat pandangannya bersih tubruk dengan mata Davit. Begitu pun Davit yang pandangannya mengunci mata Lintang. 

“Pak Davit, maaf,” ucap Lintang yang buru-buru berdiri tegak. 

“Em,” jawab Davit yang seolah membersihkan pakaiannya. Lintang ingin masuk ke kamar mandi, tapi tangan Davit menahannya dengan merentangkannya ke kusen pintu. 

“Pak, saya mau pipis, sudah kebelet banget,” ucap Lintang memelas. 

“Saya lupa kalau saya belum melakukan sesuatu,” kata Davit yang kembali masuk ke kamar mandi dan membanting pintunya dengan kencang. 

Brakkk!

Lintang menatap pintu kamar mandi dengan nanar, perempuan itu kini ingin menangis saat ini juga karena perlakuan Pak Davit. 

“Pak Davit!” teriak Lintang memukul pintu kamar mandi dengan brutal. 

“Saya tahu kalau saya di sini hanya numpang. Tapi kenapa Pak Davit semena-mena begini, hah?” teriak Lintang yang air mata sudah menggenang di pelupuk matanya. 

Davit tidak menjawab, pria itu kini tengah mengurut dada-nya yang bergetar dengan tidak wajar, “Masih muda kenapa bisa deg-degan begini kayak gejala sakit jantung,” batin Davit yang berusaha mengatur detakan jantungnya dan hembusan napasnya yang memburu. 

Saat matanya bertatapan dengan mata Lintang, Davit merasakan jantungnya bertalu-talu dengan hebat. Keringat dingin juga keluar dari pelipis Davit.

Sedangkan Lintang segera keluar dari rumah Davit, perempuan itu ingin mencari toilet umum karena sudah tidak tahan lagi. Lintang mencari sandal jepit di rak belakang pintu, perempuan itu dengan tergesa-gesa sembari memegang perutnya ingin pergi dari rumah Davit. 

“Mbak tunggu!” instruksi seorang pria yang tengah berdiri di teras rumah sebelah. Lintang segera menolehkan kepalanya ke kiri. Di perumahan elit ini antara satu rumah dan rumah lainnya saling berdempetan, tembok pembatas pun hanya sebatas perut. 

“Pak Bayu!” panggil Lintang pada pria itu. Yang dipanggil Bayu pun mengerutkan alisnya. 

“Saya mahasiswa arsitektur, Pak. Pak Bayu dosen Tipologi Bangunan, kan?” tanya Lintang saat merasa Bayu tidak mengenalnya. Bayu adalah dosen tipologi bangunan yang dulu semester dua mengajar di kelasnya. Tapi karena dia tidak terkenal, mungkin Pak Bayu melupakannya. 

Belah Duren Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang