38. Tim Sekutu

557 19 0
                                    


Davit menghentikan mobilnya tepat di rumah mamanya. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Setelah terciduk di parkiran pasar malam, bukannya segera pulang, Davit malah mengajak Lintang berputar-putar. Hingga tengah malam baru sampai di rumah mamanya.

"Pak, itu papa ngapain malam-malam masih bawa sapu?" tanya Lintang menunjuk mertuanya yang sedang menyapu teras.

"Hawa-hawanya tanda babak belur sudah dekat," cicit Davit menyugar rambutnya dengan pelan. Lintang menatap suaminya yang kini wajahnya kembali pucat.

"Pak, ada apa?" tanya Lintang. Davit menarik tangan Lintang dengan erat.

"Lintang, kali ini suamimu akan terjun ke medan terang. Bila nanti dalam pertempuran aku gugur, ingatlah kalau aku tetap mencintaimu," ucap Davit dengan mendramatisir keadaan. Davit menatap Lintang dengan mata yang dikedip-kedipkan sok imut.

"Ada apa sih, Pak?" tanya Lintang.

"Lintang, lihat orang yang tengah membawa sapu itu!" titah Davit sambil melihat papanya. Davit tersentak saat melihat papanya menatap ke mobilnya dengan mata yang melotot tajam. Begitu pun dengan Lintang yang ikut tercekat.

"Papa kamu kenapa natap kita tajam banget, Pak?" tanya Lintang.

"Inilah medan perang yang sesungguhnya," jawab Davit.

"Terus kita harus apa?" tanya Lintang lagi yang sudah mulai panik.

"Kita harus hadapi karena aku adalah laki-laki sejati. Pantang mundur sebelum berjuang," jawab Davit membuka pintu mobilnya. Pria itu dengan cepat keluar.

Bibir Davit tersenyum, wajahnya tegap penuh dengan hawa lelaki sejati. Namun kaki Davit bergetar. Terakhir kali mendapatkan tatapan tajam dari papanya adalah dulu saat SMA ia membolos sekolah dan terciduk Satpol PP. Saat teman-temannya dijamin papanya masing-masing dan dibebaskan, beda dengan papanya yang membiarkannya dihukum. Bahkan papanya berpesan pada Satpol PP untuk memukulnya lebih banyak.

"Pak Davit, aku pulang ke rumah mama dulu, ya. Pak Davit lebih baik kembali ke rumah," ucap Lintang.

"Tidak, aku harus menghadapi papa," jawab Davit. Sebagai pertanggung jawabannya sebagai seorang laki-laki, ia tidak akan mundur. Lintang sudah tidak memiliki orang tua, kini tanggung jawab Lintang sepenuhnya ada pada mama papanya dan dirinya.

Davit menggenggam tangan Lintang dan mendekati Seno yang tengah menyapu teras.

"Pa," panggil Davit.

"Hem." Seno hanya menjawabnya dengan deheman.

"Pa, kok malam-malam nyapu? Kata orang tua malam-malam nyapu itu bisa membuat rezeki seret," ucap Davit.

"Orang tua mana yang mengatakan demikian?" tanya Seno. Davit menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. Dia yang anaknya tapi dia yang canggung dengan papanya.

"Ngajak anak gadis orang, pulang tengah malam. Hebat ya," sinis Seno.

"Pa, tadi keasikan di pasar malam makan sate."

"Oh makan sate. Begini ya anak muda sekarang, ke rumah mertua dengan tangan kosong."

"Pa, kenapa aku selalu salah di mata papa? Kemarin aku bawa martabak tidak ada yang mau, sekarang gak bawa apa-apa malah disindir," kata Davit dengan kesal.

"Oh begini ya caranya anak muda bicara dengan calon mertua."

"Pa, cukup!"

"Oh-"

"Oh gini ya oh gini ya ... gini gitu terus saja, Pa. Aku sudah baik hati memulangkan Lintang ke sini dengan selamat tidak ada kurang suatu apapun, tapi papa malah terus menyalahkanku. Kalau begini caranya, biarkan Lintang tinggal di rumahku!" ucap Davit dengan menggebu-gebu.

Belah Duren Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang