25. Pekerjaan Baru

522 31 2
                                    


Davit tengah merenung di ruang tamu, pikiran Davit melayang pada ucapan mamanya. Ia anak mamanya, tapi mamanya lebih memilih membela istrinya. Mamanya juga terang-terangan mengatakan kecewa kepadanya. Sedangkan Hukma menatap kakaknya dengan bibir yang ingin bersuara tapi ia katupkan lagi. Hukma marah dengan kakaknya saat kakaknya menceritakan telah mengusir Lintang. Dan saat ini pun Lintang tidak bisa dihubungi. Hukma yang tahu kisah hidup Lintang pun jelas merasa kesal dan kecewa kepada kakaknya. Namun bagaimanapun Davit tetaplah kakaknya.

Davit mengusap bibirnya, ingatan semalam saat ia mencium bibir Lintang masuk di memori Davit. Ini adalah pertama kali Davit mencium seseorang. Tidak pernah Davit bayangkan kalau rasanya semanis ini. Davit tersenyum kecil, rasa bibir Lintang masih menempel di bibirnya. Namun sesaat kemudian, perasaan hampa melingkupi hati Davit. Kini istrinya belum ditemukan, sedangkan mamanya juga mengatakan kecewa.

"Kak," panggil Hukma dengan pelan. Davit mendongakkan kepalanya.

"Sebenarnya kenapa kakak bisa tega dengan Lintang?" tanya Hukma.

"Kalau kakak gak suka sama dia, cukup bilang gak suka. Gak usah kaka mengusir dia. Apalagi dompetnya tertinggal di kamar," ucap Hukma lagi.

"Kalau begini jadinya, aku tidak akan mengatakan hal laknaat itu," jawab Davit kembali menundukkan kepalanya. Davit tidak menyangka kalau kemarahannya yang sesaat membuat semuanya sangat runyam.

Kemarin Davit hanya berniat mengancam Lintang agar Lintang mau keluar untuk bimbingan. Namun karena Lintang tidak kunjung keluar, ia pun mengancamnya. Benar apa yang dikatakan mamanya kalau ucapan itu seperti air, apabila sudah tumpah sulit dikembalikan lagi.

Davit menyadari kalau ucapannya sangat pedas. Davit mengusap air matanya saat perasaannya semakin hampa.

"Kak, uang mahar yang kakak berikan pada Lintang di mana?" tanya Hukma yang sangat penasaran; Pasalnya kakak iparnya masih kerja meski sudah ada uang mahar yang lumayan banyak.

"Masih kakak bawa," jawab Davit.

"Kakak gila?" tanya Hukma dengan spontan berdiri.

"Kakak sudah sangat jahat. Aku tahu ini hubungan kontrak, tapi kakak nikah secara sah agama dan negara. Uang mahar seharusnya milik istri, bukan suami!" teriak Hukma yang tidak habis pikir dengan kenyataan yang lagi-lagi pahit ia dapatkan.

"Kakak seorang dosen terpelajar, harusnya kakak bisa menjaga ucapan dan sikap. Ini kakak sudah menyakiti hati Lintang, uang mahar pun masih kakak bawa. Kakak sebenarnya maunya apa, sih?" tanya Hukma memijat kepalanya yang tiba-tiba terasa sakit.

"Aku belum sempat memberikannya. Aku sudah memberikan kartu untuk Lintang, tapi semalam Lintang melemparnya," jelas Davit.

"Kakak, sekarang kakak harus menemukan Lintang. Apa kakak tidak khawatir bagaimana keadaan Lintang di luar sana? Semalam hujan turun dengan deras pula, di mana Lintang berteduh," ujar Hukma dengan menggebu-gebu.

Setetes air mata turun dari mata Davit. Buru-buru Davit berdiri, pria itu segera memasuki kamarnya agar adiknya tidak melihat air matanya. Perasaan hampa, kosong dan gelisah dirasakan Davit. Terakhir kali ia menemukan Lintang dalam keadaan hujan, Lintang langsung demam tinggi. Dan semalam hujan lebih lebat dari yang kemarin. Davit mengambil hpnya dan kembali menghubungi Lintang. Raut khawatir tercetak jelas di wajah Davit.

"Lintang, angkat, dong!" bisik Davit yang harap-harap cemas. Namun lagi-lagi Davit tidak mendapatkan jawaban.

Davit menatap jam dinding, waktu sudah menunjukkan pukul sembilan. Dan harusnya ia sudah berangkat ke kampus.

Belah Duren Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang