"Gus Asna ..."
Aku memanggilnya pelan setelah keluar dari kamar. Dia sedang duduk di ruang tengah. Ternyata dia juga mandi dan mengganti pakaiannya dengan kemeja putih.
Apa aku terlalu lama sampai dia sempat mandi setelah membuat minuman hangat? pikirku.
Gus Asna kemudian menyuruhku untuk mendekat.
"Kemari dan minumlah. Ada teh dan gula di lemari dapur. Sepertinya, rumah ini gak benar-benar ditinggalkan. Ada persediaan sabun dan lainnya juga."
Gus Asna menjelaskan. Aku lalu ingat sesuatu.
"Ah, ya. Pas acara 7 bulanan Mbak Tsani, ada beberapa tamu yang menginap di sini, jadi mungkin karena itu. Jenengan waktu itu kan ndak bisa ikut."
Aku mengambil cangkir dan mulai meminumnya.
Sesekali aku melirik Gus Asna yang sudah terlihat agak segar.
"Maaf."
"Ya?"
Aku sedikit terkejut dengan permintaan maafnya yang tiba-tiba.
"Maaf ... Aku baru sadar jika ada acara di keluargamu, aku jarang berpartisipasi. Padahal, kamu selalu melakukan yang terbaik untuk keluargaku," katanya mengakui dosa.
Mungkin, jika hatiku masih keras, aku akan marah padanya karena baru sekarang dia sadar. Namun, hatiku lebih tenang dari yang kukira.
Aku malah berpikir, dia sedikit menggemaskan sekarang. Aku pun meletakkan minuman dan menatapnya.
"Jika jenengan merasa bersalah, jenengan tahu maaf aja gak cukup, kan?"
"Ya. Aku pasti memperbaikinya di waktu mendatang."
"Hm ..."
Kami kembali jatuh ke dalam keheningan. Hujan hebat di luar tadi sudah mereda sedikit. Guntur juga tak lagi terdengar. Namun, gemuruh di dadaku masih terus menggelegar dengan apa yang ingin kuutarakan.
"Gus ... menurut jenengan apa itu cinta?" tanyaku pelan.
Dia akhirnya bergeming dan tersenyum samar lalu menatapku.
"Kamu mau jawaban yang gimana? Yang puitis? Atau romantis?" Gus Asna balik bertanya.
"Kalau dua-duanya?"
Setelah mengatakan itu, Gus Asna sepenuhnya menghadap padaku. Jantungku pun berdebar lebih hebat karena tatapannya yang manis dan sendu.
"Aku gak tahu pasti apa definisi cinta, Sinta ... tapi, aku pernah membaca, dari Maulana Rumi, cinta adalah saat Tuhan berkata Aku menciptakan segalanya untukmu. Dan kamu menjawab, aku meninggalkan segalanya untuk-Mu."
Gus Asna memulai penjelasan pertamanya.
"Itu kan cinta pada Tuhan, Gus. Gimana dengan cinta pada manusia?"
"Kita bisa menafsirkannya dengan hal yang sama," jawabnya sederhana.
"Cinta adalah saat aku berkata, aku melakukan segalanya untukmu, tapi kamu menjawab kamu meninggalkan segalanya hanya untuk bersamaku."
Dia melanjutkan dengan tetap menatapku.
"Kamu sudah meninggalkan segalanya, rumahmu, keluargamu, teman-temanmu, masa depanmu, karirmu ... hanya untuk bersamaku, Sinta. Jadi, sekarang biarkan aku yang melakukan segalanya untukmu. Apapun yang kamu inginkan, katakan saja, yang kecil, yang besar ... semuanya, aku akan melakukannya untukmu, untuk kebahagiaanmu. Aku mencintaimu Sinta ..."
Deg! Deg!
Lagi-lagi hatiku tidak dapat menahan diri.
Apalagi Gus Asna berbicara dengan nada rendah, pelan, dan menenangkan. Gemiricik dari sisa-sisa hujan di luar juga seakan mendukung kalimatnya menjadi sebuah keromantisan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati Sinta
SpiritualSinta, perempuan biasa yang terjebak dalam pernikahan dengan seorang pria berdarah biru dari trah pesantren. Dia yang muak dengan pengabaian sang suami, tidak lagi berniat mempertahankan pernikahan. Maka dari itu, saat waktu yang ditetapkan Gus Asna...