Ternyata waktu cepat berlalu saat digunakan untuk berbelanja. Padahal, niatku hanya ingin melakukan salat Isya' sebelum kembali agar hatiku tenang. Namun, siapa sangka dalam waktu yang singkat itu hujan mengguyur deras sampai air menggenangi jalanan?
"Ya Allah, padahal hujannya baru aja turun udah banjir aja."
"Ya? Ya? Apa karena deket sama laut?"
"Tapi, gimana cara kita pulang ke penginapan kalau gini?"
"Sudahlah, tunggu terang aja dulu. Pakai mobil pun gak aman. Kita istirahat dulu aja. Mau kopi?"
Begitulah pembicaraan orang-orang. Aku menghela napas panjang. Padahal, sedang mengejar waktu. Jika seperti ini, kapan aku bisa ke cottage? Padahal, Gus Asna pasti menungguku. Tapi, aku pakai motor listrik sekarang, gak bisa menerobos hujan. Bahaya.
Argh, gimana?
Aku merasa frustrasi. Tapi, tidak ada yang bisa kulakukan sampai jam-jam berlalu dan air di jalanan malah semakin tinggi. Saat itu, muncul pengumuman yang membuatku terperanjat.
"Perhatian! Perhatian! Untuk semua pengunjung swalayan, saat ini beberapa jalan menuju gerbang pantai telah ditutup karena hujun yang deras. Bagi Anda yang menginap di sekitar pantai, harap menunggu dengan tenang sampai air surut demi keamanan. Terima kasih."
Pengumuman itu sontak membuat para pengunjung kebingungan. Aku pun sama.
Ya Allah, kenapa bisa jadi seperti ini? bathinku nelangsa.
Saat melihat layar Hp, aku tambah merana. Tidak ada sinyal karena gangguan cuaca. Sebenarnya malam apa ini?
Ketika masih merenungi nasib, obrolan dari beberapa orang menyadarkanku.
"Kita harus cari penginapan gak sih? Kayaknya air gak bakal surut sampai pagi. Kita juga gak bisa minta jemput karena jalanan ditutup."
"Kamu bener. Ayo, ke hotel sebelah aja, sebelum penuh. Kalau lari masih bisa kan?"
Pada akhirnya, orang-orang itu pun berlari ke gedung sebelah.
Aku pun tidak punya pilihan selain mengikuti mereka. Ini sudah sangat malam. Jika aku diam di swalayan, Gus Asna pasti akan mengomeliku. Segera setelah menitipkan motor listrik, aku berlari ke hotel kecil itu.
Rencanaku adalah menginap semalam dan meminjam telefon kabel untuk menghubungi Gus Asna agar dia tidak khawatir. Siapa sangka, saat akan memesan kamar, terjadi sesuatu yang tidak aku inginkan.
"Satu kamar buat satu malam, Mbak."
"Satu kamar buat satu malam, Mbak."
Mendengar kalimatku sama dengan orang lain, aku refleks menoleh. Saat itu, aku membeku di tempat. Karena di hadapanku sekarang, berdiri dia yang tidak ingin kulihat, Kak Rama.
"Sinta? Kenapa kamu di sini?" tanyanya.
Petugas hotel mengintrupsi kami dengan memberikan kunci kamar masing-masing.
"Sin? Apa kamu gak mendengarku?" tanya Kak Rama lagi.
Aku menelan ludah susah. Bagaimana pun ini canggung dan tiba-tiba. Kupikir, dia sudah tidak ada di sini karena aku sama sekali tidak melihatnya lagi.
Kenapa bisa kebetulan seperti ini?
"Ah, Gus Rama … aku kejebak hujan pas di swalayan," jawabku ala kadar karena aku tidak bisa mengendalikan diri.
Entah kenapa aku merasa sedih saat melihatnya. Padahal, beberapa menit lalu aku sangat berbunga karena Gus Asna. Sekarang, hatiku merasa berantakan hanya karena kehadiran Kak Rama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati Sinta
SpiritualSinta, perempuan biasa yang terjebak dalam pernikahan dengan seorang pria berdarah biru dari trah pesantren. Dia yang muak dengan pengabaian sang suami, tidak lagi berniat mempertahankan pernikahan. Maka dari itu, saat waktu yang ditetapkan Gus Asna...