Pukul setengah 6 pagi, saat matahari masih belum bersinar begitu terang. Banyak orang yang terjebak hujan semalam keluar dari hotel termasuk aku. Di depan lobi kini sudah ada Gus Asna yang menjemput. Sejak selesai salat Subuh, ketika sinyal internet di ponselku sudah membaik, dia terus menghubungiku untuk memastikan bahwa aku baik-baik saja. Dan sekarang, aku sudah benar-benar ada di hadapannya.
“Kamu bener baik-baik aja, kan?”
Gus Asna masih bertanya padahal kami sudah bertatapan mata.
“Nggeh, Mas. Aku baik-baik aja. Sehat wal afiat, alhamdulillah.”
Aku memutar badan ke kanan dan ke kiri agar dia percaya. Gus Asna pun bernapas lega.
“Alhamdulillah, aku khawatir banget. Lain kali, kalau aku udah bilang gak boleh, jangan ngeyel. Aku gak mau kejadian kayak gini keulang lagi."
Aku hanya mengangguk patuh. Lagi pula, ini juga demi kebaikanku.
“Ya sudah, sebelum balik, ayo sarapan dulu. Kamu mau sarapan di mana?”
“Hm, di cottage aja lah. Kita ambil motor listrikku di swalayan dulu habis itu baru balik.”
“Oke. Udah gak ada yang ketinggalan kan barang-barang kamu?” Gus Asna mengingatkan.
Segera aku memeriksa bawaanku.
Tepat saat itu, seseorang memanggilku.
“Sinta … udah mau pulang?”
Itu adalah Kak Rama. Dia baru saja dari bagian resepsionis. Sepertinya dia juga harus kembali pagi-pagi sepertiku.
“Ah, iya. Ini udah dijemput sama suamiku.”
Aku menjawab dengan senyuman. Ya, usai obrolan singkat kita kemarin, kita memutuskan untuk tetap berhubungan baik. Tapi, jika Gus Asna keberatan, aku akan jaga jarak dengan Kak Rama.
“Assalamualaikum, Gus Asna.” Kak Rama menyapa lebih dulu.
Namun, Gus Asna membalas dengan tidak bersahabat.
“Waalaikum salam. Kenapa kamu bisa ada di sini juga Rama? Aku yakin, kamu menginap di lingkungan cottage yang sama dengan kami.”
Suara Gus Asna yang dingin membuatku sedikit khawatir. Sama seperti saat mereka bertemu sebelumnya, entah kenapa aku merasa hubungan mereka tidak baik sejak awal. Atau ini hanya perasaanku saja?
“Alasannya sama kayak Sinta yang kejebak di sini, aku juga kebetulan lagi di luar tadi malem dan mutusin nginep sebentar.”
“Ha? Memang ada kebetulan yang se-pas ini?” gumam Gus Asna.
Saat itu, aku refleks memegang lengannya. Kenapa jadi seperti ini?
“Mas? Apa maksudmu? Kamu pikir, aku ada apa-apa sama Gus Rama? Astaghfirullah …”
Jujur saja, entah kenapa aku kecewa pada Gus Asna, meski aku tahu mungkin dia sedang cemburu saat ini. Tapi, tetap saja dicurigai secara langsung membuat sudut hatiku merasa sakit. Namun, berbeda denganku yang tersinggung, Kak Rama justru tersenyum.
“Jangan terlalu kecewa, Sinta. Kamu tahu, cemburu itu tanda cinta kan? Aku lega, dia sungguh memberikan cintanya padamu,” ujar Kak Rama.
Dia lalu menepuk-nepuk bahu Gus Asna.
“Aku tidak akan mengganggu, nikmati saja bulan madu kalian. Dan …” Kak Rama melanjutkan perkataannya dengan berbisik pada Gus Asna.
Aku tidak mendengar apa yang dia katakan karena di lobi ramai dengan orang yang berlalu lalang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati Sinta
SpiritualSinta, perempuan biasa yang terjebak dalam pernikahan dengan seorang pria berdarah biru dari trah pesantren. Dia yang muak dengan pengabaian sang suami, tidak lagi berniat mempertahankan pernikahan. Maka dari itu, saat waktu yang ditetapkan Gus Asna...