Aku terbangun saat mendengar jam dinding di ruang tengah berdentang 3 kali. Dengan tubuh yang terasa pegal dan mata yang agak panas karena baru terpejam sebentar, aku berusaha menyadarkan diri. Hal yang pertama yang menyambutku adalah Gus Asna yang tertidur di sebelahku. Senyum perlahan muncul bersamaan dengan pipiku yang memanas.
Ini pertama kalinya kami seranjang, tapi kami tidak hanya 'tidur' saja.
Wah, bisa-bisanya jantungku berdetak hebat lagi sekarang. Bagaimana jika itu terdengar sangat keras sampai membangunkannya? pikirku.
Hah, tapi tidak mungkin. Suara jantung biasanya hanya diri sendiri yang bisa mendengar, jadi aku akan menikmatinya.
"Suamiku yang tampan ..." gumamku pelan seraya membelai wajah Gus Asna. Beberapa helai rambut yang menutupi dahinya kusingkirkan. Setelahnya, aku juga menghadiahi kecupan di sana lalu hendak tiduran kembali seraya memeluknya, namun tiba-tiba aku mendapat sentuhan balasan bersamaan dengan suara qiroah yang terdengar.
"Selamat Subuh, Sinta ... Aku mencintaimu."
Wajahku memerah panas dan aku merasa malu. Sejak kapan dia bangun? Apa dia mendengar saat aku menyebutnya tampan?
"Selamat subuh, juga, Gus. Karena udah qiro' sekarang. Gimana kalau cepet mandi dan balik ke ndalem?"
Aku menjawab sembari menyembunyikan diri di dadanya. Gus Asna hanya memelukku erat.
"Jadi, kamu mengajakku mandi bareng?" tanyanya melantur.
Refleks aku mundur dan memukulnya. Pasti wajahku lebih merah sekarang.
"Mandi bareng apa ya?! Mandi sendiri-sendiri, Gus! Cepet bangun! Keburu adzan nanti!"
Aku mengelak dan segera turun dari ranjang. Tapi, naasnya, aku langsung jatuh di langkah pertama.
Bruk!
"Ah ..."
Rasa ngilu apa ini? Dan ada apa dengan kakiku? Ugh, aku malu. Malu!
Pada saat itu, Gus Asna turun dari ranjang dan berjongkok di sebelahku.
"Kenapa?"
"Keserimpet selimut tadi," alibiku.
Tapi, Gus Asna malah tertawa, membuatku jengkel saja.
"Jangan ketawa, Gus. Memangnya ini, lucu?! Kan gara-gara kamu!"
Gus Asna meredakan tawa dan berekspresi datar seketika. Di saat seperrti ini, dia sungguh pintar mengatur mimik wajahnya.
"Aku tidak tertawa. Aku akan tanggung jawab."
Tanpa kesusahan yang berarti, Gus Asna membopongku, menanggalkan selimut putih di lantai begitu saja. Beruntung, kami sama-sama berpakaian meski tidak lengkap.
"Mandilah dengan nyaman. Masih ada waktu sebelum adzan, kita bisa ikut salat jamaah nanti setelah ganti pakaian di kamar."
Gus Asna mengelus kepalaku sebelum pergi. Sungguh, rasanya hatiku terbakar kembali padahal hanya kepalaku yang dipegang olehnya.
Ini bahaya! Aku harus cepat-cepat mendinginkan isi otakku!
***
Waktu pun berlalu dan pagi telah menyingsing. Saatnya sarapan bersama keluarga ndalem. Mendadak aku merasa was-was jikalau aku akan menjadi target ledekan di meja makan.
"Sin, semalem akhirnya kamu kejebak di rumah lamaku ya sama Asna?"
Pertanyaan Gus Falah membuatku sedikit terperanjat karena kaget.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati Sinta
EspiritualSinta, perempuan biasa yang terjebak dalam pernikahan dengan seorang pria berdarah biru dari trah pesantren. Dia yang muak dengan pengabaian sang suami, tidak lagi berniat mempertahankan pernikahan. Maka dari itu, saat waktu yang ditetapkan Gus Asna...