Kedatangan Kak Rama yang memicu kehebohan dapat diatasi dengan cepat oleh penanggung jawab acara. Alhasil, kini aku sudah ada di ruang tunggu. Tentu saja bersamanya dan ada Nadhifa serta suaminya. Ternyata mereka ada di belakang Kak Rama saat masuk tadi, hanya saja tertutupi penggemar yang ingin melihat wajah Kak Rama.
“Huh, aku udah bilang buat nunggu kamu selesai acara aja. Tapi, nih Kak Rama ngeyel. Jadi, heboh kan? Dasar, tukang cari perhatian.”
Nadhifa menyindir. Kak Rama sama sekali tidak menunjukkan wajah bersalah.
“Gak dicari pun, perhatian itu udah melekat ke tubuhku, Nadh?”
“Narsis!”
Nadhifa masih kesal. Tentu saja, aku paham kejengkelannya, karena aku pun merasa tidak nyaman sekarang.
“Ngomong-ngomong, mana Gus Asna? Kok dia gak dateng ke acara besar istrinya sendiri sih? Aku sama dia aja meluangkan waktu.” Kak Rama bertanya.
“Ah, ada penilaian akreditasi di madrasah, jadi dia gak bisa ke sini.” Aku menjawab ala kadar.
“Tapi, tetep aja fansignmu kan sore, harusnya dia bisa dong dateng?”
Kali ini Nadhifa yang menyahut.
Aku berusaha mengembangkan senyum.
“Aku baik-baik aja kok. Bahkan, aku pikir kalian gak jadi dateng dan bilang ke diri sendiri, gak papa, cuma launching buku doang, bukan nerima penghargaan MURI, aku gak papa,” balasku bercanda.
Baik Nadhifa maupun Kak Rama mendengus tawa.
“Jadi, harus dapet MURI dulu supaya suamimu yang super sibuk itu meluangkan waktu? Kamu kan juga berhak dapat apresiasi dari orang yang paling kamu sayangi, Sinta.”
Kak Rama menatapku penuh kesenduan meski bibirnya tersenyum.
“Ya, kalian juga orang yang aku sayangi, kan? Kurang apa lagi?” jawabku seadanya. Nadhifa kemudian menimpali.
“Ya, bener sih. Sudahlah, gak usah bahas orang yang gak dateng. Penting ada kita cukup. Yuk, makan-makan, katanya Kak Rama mau traktir buat ucapan selamat.”
Nadhifa menarikku berdiri, sedangkan Kak Rama menunjukkan wajah bertanya.
“Aku? Kapan?” Dia terlihat tidak mengerti. Apalagi aku.
“Jadi, gak mau? Buat Sinta?” tanya Nadhifa lagi.
Kak Rama menghela napas kemudian mengiyakan. Akhirnya, setelah berpamitan dengan tim penyelenggara dan penerbit, kami pergi bersama.
Saat keluar, siapa sangka ada mobil putih yang familiar?
“Mas Asna …” gumamku.
“Mana? Ada Gus Asna?” Nadhifa menyahut.
Aku mengabaikannya dan segera menghampiri Gus Asna yang berada di seberang jalan.
“Mas …”
Dia menoleh padaku dan tersenyum. Aku tidak tahu dia sampai di sini jam berapa dan apa saja yang sudah dilihatnya tadi, yang pasti perasaanku merasa tidak enak sekarang.
“Kenapa bisa di sini?” tanyaku setelah menyalimi tangannya.
Dia membuka pintu mobil dan keluar dengan buket bunga di tangannya.
“Aku juga mau memberimu ucapan selamat. Selamat buat launching buku dan fansignmu hari ini. Semoga berkah, Sinta.”
Dia mengatakan itu dan memberiku kecupan dahi. Wajahku langsung memerah karena dia melakukannya di depan umum apalagi ada Nadhifa, suaminya dan Kak Rama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati Sinta
SpiritualSinta, perempuan biasa yang terjebak dalam pernikahan dengan seorang pria berdarah biru dari trah pesantren. Dia yang muak dengan pengabaian sang suami, tidak lagi berniat mempertahankan pernikahan. Maka dari itu, saat waktu yang ditetapkan Gus Asna...