Part 22 - Kecemburuan Kedua

234 16 0
                                    

Mengambil napas berkali-kali, aku berusaha menenangkan diri sebelum memberi Gus Asna penjelasan. 

“Mas, apa kamu tahu, penulis itu termasuk pekerja seni dan setiap pekerja seni memiliki muse-nya tersendiri.”

“Muse?” Gus Asna meminta penjelasan lebih. 

“Ya, muse … sosok yang menjadi sumber inspirasi untuk menghasilkan karya kreatifnya. Dan the writing muse-ku adalah Gus Muhammad Ramadhan Husein. Aku memanggilnya Kak Rama, cinta pertamaku.”

Gus Asna menautkan kedua tangannya lalu memalingkan wajah. 

“Kamu menjadikannya muse karena dia cinta pertamamu?” tanyanya. Aku tahu, dia pasti terluka dengan kejujuranku sampai dia tidak mau aku melihat ekspresinya. 

Tapi, ini lebih baik daripada dia harus terus cemburu dan mencurigaiku, sedang cinta di antara kita sungguh masih buram. Sangat buram. Aku ingin mengawalinya dengan keterbukaan di antara kami berdua. 

“Ya. Karena dia cinta pertama dalam segala hal yang pertama dalam hidupku.” Aku menjeda ucapan sembari menatap langit. 

“Orang bilang, cinta pertama anak perempuan adalah ayahnya, tapi bagiku enggak.” 

Kepalaku refleks menggeleng berkali-kali. 

“Aku dulu sangat mendamba cinta ayah dan ibuku, tapi ayah tidak bisa mengekspresikan perasaannya dan ibu sibuk dengan perasaannya sendiri. Aku kesepian karena itu aku suka membaca buku cerita. Rasanya dalam setiap buku yang kubaca, aku memiliki harapan. Suatu saat nanti, aku pasti bertemu seseorang yang mencintaiku dan punya happy ending yang luar biasa seperti dalam buku-buku. Dan aku mulai menulis cerita pertamaku.

“Saat pertama, aku juga gak punya apa itu muse. Aku cuma nulis dengan bekal imajinasi dan pengamatan orang di sekitarku, tapi tulisanku gak pernah rame, rasanya hambar. Sampai aku ketemu sama Kak Rama. Dia seperti matahari yang sangat terang dan terasa hangat di sisinya. Saat hujan pun, aku gak takut karena cahayanya membiaskan pelangi yang cantik. Aku sadar, aku jatuh cinta dengannya. Setelah itu, tulisan-tulisanku ikut berubah dan secara alami aku menggambarkan sosoknya ke dalam tokoh utama pria di novel-novelku. 

“Lalu, apa yang terjadi? Mendadak, aku punya banyak followers, ceritaku dikomentari ratusan orang dan dibagikan ke mana-mana. Dia pun tahu, teman-teman sekolahku juga sadar akan hal itu, tapi Kak Rama gak keberatan, dia juga gak pernah komentar macam-macam. Karena kami berkomitmen untuk sukses di jalan mimpi kami masing-masing. Aku jadi leluasa melakukan hal yang kusuka. Sampai …

“saat aku hampir meneken kontrak dengan penerbit besar, perjodohan kita terjadi. Aku patah hati dan gak bisa menulis lagi. Kupikir, setelah tidak dengannya, aku jadi membenci kegiatan menulis yang kesemuanya mengingatkanku padanya. Tapi, ternyata aku hanya menolak untuk mengakui kalau aku sudah ditolak dan ditinggalkan. Saat tidak menulis, aku juga merasa sangat sepi dan tersiksa sendiri. Aku jadi merindukannya, dia dan tulisan-tulisanku yang menggambarkan sosoknya. Lalu, setelah banyak waktu terlewati, aku berdamai dengan hatiku dan kembali menulis. 

“Jadilah, novelku yang sekarang akan launching itu. Tapi, aku haqqul yaqin, gak berencana menjual kisahku yang sebenarnya dengan Kak Rama. Aku hanya menuliskan apa yang kurasa. Siapa sangka tulisan itu lebih meledak? Orang-orang ternyata lebih suka mellow drama dari romantis drama. Aku tahu, seharusnya aku gak mengambil keuntungan dalam hal ini, apalagi aku menulis tanpa izin dari Kak Rama, tapi …”

Aku menundukkan kepala dalam. Rasanya sesak, memikirkan bahwa mimpi besar yang sudah kuidam-idamkan harus terlepas karena keadaan. 

“debut sebagai penulis resmi di sebuah platform, punya acara launching buku dan fansign buku sendiri itu impianku sejak sekolah. Sebagian mimpi itu sudah terwujud dan aku masih berjalan untuk menyempurnakannya. Haruskah aku melepaskannya sekarang, Mas? Jika itu yang kamu mau, akan kulakukan, tapi bantu aku membayar denda pelanggaran kontraknya karena aku gak punya uang sebanyak itu.”

Hati SintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang