Part 24 - Launching Buku

249 15 73
                                    

Tidak ada takdir yang lebih membahagiakan selain bisa mencintai dan dicintai. 

Hari-hari yang kujalani jadi berjalan menyenangkan karenanya. Dan saat hati ini senang, segala urusan juga terasa dimudahkan. Bukan hanya untuk keperluan ndalem dan pesantren, tapi bahkan untuk acara launching novelku pun lancar. Novel itu selesai cetak lebih cepat sehingga sebagian sudah didistribusikan. Lalu, akhirnya … aku mendapat acara fansign pertamaku! Acara itu akan diadakan di hari yang sama dengan acara launching, tetapi berbeda tempat.

Benar-benar alhamdulillah, aku tidak bisa mengatakan apapun selain banyak bersyukur. Rasanya kebahagiaan kali ini sangat berlimpah ruah. Aku sampai takut, apa benar aku boleh sebahagia ini?

“Merasa bahagia dengan kehidupan itu cara bersyukur paling besar, Sinta. Karena dengan menjalani hidup dengan bahagia, artinya kita legowo dengan takdir yang Gusti Allah berikan. Jadi, tentu aja kamu boleh merasa begitu.”

Gus Asna berkomentar setelah aku mengutarakan gelisahan. Aku setuju dengan apa yang dia katakan, tetapi hatiku tak semudah itu merasa tenang. 

Leres, Mas. Tapi, kadang-kadang ketakutan itu muncul sendiri. Tiba-tiba di pikiran terlintas, kalau terlalu bahagia bisa jadi ada kesedihan yang menanti di belakang. Jadi terus mikir, apa boleh sebahagia ini?” 

Gus Asna mengusap-usap keningku. 

Saat membicarakan hal ini, dia sedang membaca kitab dan aku tiduran di pangkuannya. Tiga hari lagi adalah acara launching. Aku jadi lebih overthinking karena hari H yang sudah dekat. 

“Inget, Sin … Allah itu bergantung dari prasangka hamba-Nya. Jadi, kalau kita pikirannya selalu baik sama Allah, insya Allah pas kekhawatiran itu dateng, kita tetep gak kehilangan alhamdulillah. Karena di dalam hati kita udah tertanem kalau Allah itu Maha Baik, segala sesuatu yang dia gariskan sudah sangat baik.” 

Jenengan leres, Mas. Aku mau mikir yang baik-baik aja kalau gitu.”

“Bagus, itu baru istriku. Oh ya, kapan sih acara launching bukumu? Kemarin digeser kan tanggalnya?”

“He’em. Tapi, malah jadi barengan sama acara akreditasi madrasah, Mas.”

“Lah, 3 hari lagi berarti?”

“Iya, makanya. Jenengan kalau gak bisa hadir, ndak papa. Lagian cuma launching buku. Aku juga bisa berangkat sendiri.”

“Hm, ya sudah. Semoga lancar, jangan gugup, jadi diri sendiri. Aku yakin, penggemarmu pasti suka sama kamu.”

Gus Asna berusaha menyemangatiku.

“Tapi, kalau aku tetep gugup dan malah salah bicara, gimana?”

“Ya, gak gimana-gimana, paling pada ketawa nanti. Malah rame kan suasananya.”

Dia bercanda dan aku memukul lengannya.

“Ih, istrinya diketawain di depan umum, bisa-bisanya seneng ya?”

“Terus, kamu maunya aku guling-guling atau koprol?”

“Ngapain cuma guling-guling atau koprol? Pankour lah biar keren,” jawabku ikut bercanda. 

Akhirnya kami tertawa dan menghabiskan sisa malam dengan obrolan hangat seperti biasa. 

Aku pikir, jika sudah begitu aku bisa lupa akan kegugupanku. Nyatanya, saat sudah benar-benar di lokasi, tanganku tetap panas dingin. Walaupun aku sudah biasa berdiri di depan untuk mengajar, rasanya ini berbeda. Karena hari ini aku bukan menyampaikan hal yang sudah pasti, tetapi membedah hasil karyaku sendiri. 

Hati SintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang