Bab 1. The Girl With Clip Board

23.7K 231 45
                                    

*Cakra*

Di antara banyak orang yang berada ke tempat ini, gadis itu berdiri gelisah. Iris mata bernaung lensa bewarna biru itu terlihat mengawasi bayangan orang-orang dengan rasa gelisah. Seakan memastikan semuanya berjalan baik-baik saja di acara sebesar ini. Sementara, kedua tangan gadis itu memeluk clip board sangat erat untuk mengalihkan kegelisahan di dalam dirinya. Yap, siapapun yang datang pasti memperhatikannya. Otak dibalik acara ini.

Gue hanya nggak nyangka. Di antara banyaknya gadis yang lebih cantik, lebih anggun, lebih wow mungkin, dialah yang justru mengalihkan perhatian gue. Ada keistimewaan tersendiri yang nggak dimiliki gadis lain, yaitu tekad-nya.

Kalau bukan karena Mami, gue nggak bakal datang ke acara membosankan ini. Dia tiba-tiba main seenaknya terima acara amal dan nunjuk gue datang sebagai perwakilan. Sialnya, gue bukan orang yang berani nolak perintahnya.

Kayak sekarang aja, gue jadi bingung harus ngapain aja. Gue nggak ngerti seni, atau yang berhubungan sama itu, diam-diam disuruh pilih tim buat donasi, al hasil gue hanya berdiri sambil memperhatikan gadis lucu itu. Gadis dengan clip board di pelukannya.

"Bos, kita bisa langsung pergi setelah acara ceremonial," celetuk Bayu, assisten pribadi gue. Udah tahun ke lima dia kerja bareng gue. Sering gue ajak kalau ada acara membosankan kayak gini. Meskipun kadang nggak penting, buat jaga-jaga aja kalau gue nanti kebosanan.

Gue memilih diam. Masih berdiri di antara ratusan orang. Beberapa yang lain sudah beranjak ke arah gedung teater. Gue juga harus ke sana.

Diam-diam gue masih memperhatikannya. Kini tidak lagi berdiri di tempat yang sama. Gadis itu sudah bertukar pesan sama temannya yang lain. Sampai gue menangkap kehadirannya di antara perwakilan mahasiswa Master of Ceremony. Sekarang gue jadi tahu kenapa dia sedari tadi gelisah. Ternyata nggak lebih dari rasa gugupnya karena akan tampil di depan banyak orang. Sepertinya ini yang pertama kali. Diam-diam gue jadi senyum sendiri memperhatikannya, lucu, itu tanggapan pertama gue.

Hampir sepuluh menit berlalu, gadis itu masih belum naik ke atas panggung. Belum ada tanda-tanda acara dimulai. Dia malah duduk menyamping, tangan bertumpu di meja. Matanya mengerjap begitu menatap layar monitor laptop. Beberapa kali ketangkap menyelipkan anak rambut yang mengganggu ke telinga. Buat gue menatap gadis itu lumayan. Apalagi senyumnya, lumayan menyita perhatian.

Sekarang gue nggak harus heran lagi kenapa terus memperhatikannya. Dia memang pantas mendapatkan semua pujian yang harus didapatkan untuk seorang wanita.

Kadang gue berpikir, apa bener dia yang bakal jadi MC, atau jangan-jangan dia lagi nunggu temennya yang lain. Diam-diam gue menghembuskan napas kasar. Berharap dialah master of ceremony. Paling nggak, gue nggak nunggu terlalu lama di tempat membosankan ini.

"Acaranya jam berapa?" tanya gue ke Bayu.

Bayu terlihat sangat panik setelah menerima pertanyaan gue. "Jam 10, Pak."

Gue melirik ke arah smartwatch. Telat 10 menit. Andai gue nggak nemu pemandangan menarik, sudah pasti gue bakal marah-marah. Gue nggak pernah suka kata terlambat. "10 menit."

"Mau komplain ke panitia pelaksana, Pak?"

Gue menggeleng.

"Nunggu apa lagi sih, udah tau yang diundang orang penting semua," dumel Bayu saat itu dan gue nggak terlalu peduli.

Gue kemudian melihat gadis itu bersiap untuk ke atas panggung. Syukurlah, gue nggak jadi nunggu lama. Gue memperhatikannya. Sementara Bayu sudah bergerak gelisah di tempatnya. Entah kursinya yang nggak nyaman, atau dia udah terlanjur dongkol sendiri. Gue pura-pura nggak peduli.

Dandelion [END-LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang