Bab 37. Trust

705 26 1
                                    

*Dhira*

Pernikahan semakin dekat. Rasa ragu semakin menggangguku. Tidak ada kata yakin untuk menikah dengan Mas Cakra. Karena itu juga sampai hari ini aku tetap duduk di ruang belajar. Mencorat-coret kertas untuk menghitung kemungkinan paling buruk dan baik yang aku miliki setelah menikah dengan Mas Cakra. 

Semua itu aku tulis di kertas berukuran A4. Ada puluhan kebaikan dan juga beberapa keburukan yang aku dapatkan. Sampai sekarang pun aku berusaha seobjektif mungkin menemukan sisi buruk yang aku dapatkan setelah menikah, hasilnya nihil. Otakku berusaha berpikir namun tidak menemukan jawaban.

Mungkin aku orang yang terlalu naif sampai tidak menemukan keburukan Mas Cakra yang pantas aku tuliskan. Bahkan di saat keraguan bersamaku, aku sama sekali tidak bisa menuliskan hal buruk tentangnya. Keburukannya hanya satu, tentang sikapnya yang terlalu baik kepada Mbak Ceyla. Sementara hal buruk lain sengaja aku tuliskan untuk membenarkan kalau Mas Cakra sebenarnya tidak sebaik itu. Semua itu hanya sebatas alasan untuk mencari keburukan.

Aku rasa, aku harus mencoba jujur kepada diri sendiri. Mempercayai Mas Cakra sepenuhnya dan mengabdikan hidupku untuknya. Apalagi dengan rencana pernikahan yang sekarang sudah tinggal dua hari lagi.

Sambil mengetukkan bulpoin di meja, aku kembali menuliskan sesuatu di sana. Kolom kebaikan, tidak sadar aku menuliskan, 'Mendapatkan cinta Mas Cakra'.

Itulah satu lagi kenaifan lain yang ku tuliskan di kertas.

Terdengar satu ketukan pelan di jendela. Membuatku menoleh ke sumber suara. Penasaran siapa yang mengetuk malam-malam gini, aku buru-buru menyibak kelambu. Cukup terkejut begitu melihat Mas Cakra ada di sana. Tersenyum lebar memintaku untuk membuka pintu balkon kamar.

Aku tidak tahu kenapa dia sudah ada di balik jendela lantai atas. Sesuatu yang tidak mungkin dia lakukan dengan mudah. Terlebih orang tua kita sama-sama melarang untuk saling bertemu.

"What are you doing?" Aku membuka pintu balkon untuk membiarkannya masuk. Tidak mungkin kan membiarkan Mas Cakra tetap berada di balkon. "Come on... Ngapain sih Mas Cakra kayak tadi? Ke atas pakai apa?" tanyaku penasaran. Jelas saja. Tidak ada tangga. Tidak semudah itu kan tiba ke lantai atas.

"Mau ketemu kamu. Makes you happy dan nggak marah-marah lagi."

Aku hanya memperhatikan Mas Cakra masuk kemudian. Masih ada perasaan marah yang mengganjal ketika melihat muka Mas Cakra. Itu sebabnya meskipun Mas Cakra menunjukkan senyum, aku masih tetap pada pendirian untuk memandangnya datar. Reaksi paling wajar untuk saat ini.

Sambil memperhatikan Mas Cakra mengeluarkan sesuatu dari saku celana. Aku menangkap luka lumayan lebar di pergelangan tangan sampai sebatas siku. Membuatku spontan meraihnya untuk melihat seberapa lebar luka itu. Apalagi waktu melihat lukanya masih basah.

Namun, ketika aku lihat, Mas Cakra hanya cengengesan seolah luka itu hanya luka kecil. Ya memang bukan luka besar sih, tapi aku hanya memastikan Mas Cakra baik-baik saja. Itu seperti luka sayatan. Bagaimana kalau sayatannya dalam kan?

"Ini kok bisa sih?" tanyaku. "Aku obatin dulu. Kemarin luka ini nggak ada loh Mas. Ini kamu kena di mana?" lanjutku sambil mencari tas p3k yang memang aku siapkan di kamar. Mengoleskan antiseptik untuk membersihkan luka Mas Cakra sebelum infeksi. Aku lihat Mas Cakra nyengir keperihan. "Aku kasih hansaplas ya Mas?" Aku lihat Mas Cakra menggeleng. "Nanti lukanya makin parah loh," protesku.

"Besok juga kering lukanya. Kalau di hansaplas ga bakal cepet kering, Yang. Lagian butuh berapa hansaplas? Orang panjang ini lukanya. Luka beret lagi. Udah ga papa. Ini kena kawat di pagar kamu tuh. Lain kali pagarnya diperbaiki."

Dandelion [END-LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang